Sabtu, 12 Mei 2012

Pernikahan

Tok! Tok! Tok!

Beberapa menit kemudian, pintu dibuka dari dalam.

Sosok itu muncul di hadapanku. Menatap wajahnya menghadirkan ketenangan di batinku. Di mataku, dia sangat istimewa. Meski badannya tidak seatletis Diandra. Dan yang paling kusuka darinya adalah tatapan mata sendunya yang memancarkan kehangatan. Dan aku selalu merasa terlindungi saat bersamanya. Dan tentunya aku juga selalu merasa nyaman saat di dekatnya.

“Aku mau nginep di sini!” Aku langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Dia hanya diam sambil menutup pintu.

Dia memang agak cuek dan dingin. Tapi ketika bersamaku, dia lebih sering bersikap sangat bersahabat.

Aku duduk di sofa ruang keluarga. Dengan muka ditekuk, aku meraih remote TV. Lalu menekan tombol On-nya.

Sementara itu, dia melangkah menuju dapur. entah apa yang mau dilakukannya. Mungkin dia sedang masak, saat aku datang.

“Let’s dance together, get on the dance floor…,” ringtone call alert ponselku berbunyi.

Aku meraih ponselku di dalam tasku. “Diandra,” gumamku.

Plak!

Kulempar ponselku ke sofa di samping kananku.

“Hallo!”

Aku menengok ke samping kananku. Sejak kapan Arya dis itu? Pakai pegang ponselku pula.

“Diandra, aku Arya.”

Kyaaakkk.. arya menerima panggilan Diandra.

"Mati’in!” ucapku dengan isyarat. Aku mencoba merebut ponselku, tapi Arya terus mengelak dariku.

“Arya, mati’in donk,” rengekku tetap dengan isyarat. Dan aku terus mencoba merebutnya.

Tapi Arya malah tambah asyik ngobrol dengan Diandra sambil terus mengelak dariku.

“Iiih…. Arya nyebelin!“ Jurus pamungkasku.

Capek mengejar Arya, aku kembali duduk di sofa.

“Iya, kalo Henny udah selesai mandi, pesan kamu pasti kusampaikan.” Arya menutup perbincangannya ditelepon. Lalu dia duduk di sampingku dan meletakkan ponselku di atas meja.

Dengan sok jutek, aku tak mengalihkan pandangnku dari TV.

“Mau minum?” Arya menyodorkan segelas jus jeruk padaku. Minuman favoritku. Mana bisa aku nerusain pura-pura juteknya.

Segera kuambil gelas itu dari tangannya. “Jadi barusan kamu bikin ini? Koq cepet banget?”

“Aku tau kamu mau ke sini.” Jawabnya singkat.

Hmm.. aku meminum jus jeruk buatan Arya. Enak!

“Diandra bilang, dia mau minta ma’af sama kamu.”

“Aku benci Diandra. Pembohong! Hari ini Diandra janji mau nemenin aku ke toko buku jam empat. Dan Diandra belum datang juga sampe jam enam. Kucoba telpon, ponselnya malah gak diangkat-angkat.”

“Apa kamu tau alasannya gak bisa datang?”

“Bodo!”

"Diandra harus nganterin dan nemenin kak Shinta yang mau melahirkan di rumah sakit.”

Aku menatap kaget pada Arya. Kak Shinta mau melahirkan? Kak Shinta itu kakaknya cowokku, Diandra. Jadi itu alasan Diandra. Tapi kenapa dia tak menghubungiku terlebih dulu untuk membatalkan janjinya? Atau aku juga bisa mendampinginya untuk menemani kak Shinta.

“Diandra gak sempat nelpon kamu karena saat itu dia sangat panik. Setelah kak Shinta melahirkan, dia baru ingat buat hubungin kamu.” Arya seolah mendengar pertanyaan yang hanya kuucapkan dalam hati itu.

Arya, apa dia benar-benar mengetahui segalanya tentangku? Apa itu artinya dia sangat memahamiku? Bagaimana dengan perasaanku padanya? Apakah dia juga dapat merasakannya? Atau itu hanya tebakannya?

Arya adalah kakak sepupuku. Dia kuliah di fakultas hukum di sebuah universitas swasta di Jakarta. Kuliahnya sudah semester akhir, tinggal nunggu hari dimana skripsinya akan diuji. Selain itu dia juga udah kerja di salah satu kantor advokat terkenal di Jakarta. Karena itu, dia sudah bisa mengontrak rumah, membiayai kuliahnya sendiri, serta mebiayai kehidupannya sehari-hari, meskipun masih belum bisa mengirimi orang tuanya. Orang tuanya kan tinggal di Bandung.

Meskipun kami sangat dekat dan saling mengetahui pribadi kami masing-masing, tetap saja aku tak bisa menebak perasaannya terhadapku.

Aku merasa sangat terlindungi ketika bersamanya. Dan sudah sejak sangat lama aku menyukainya, mengaguminya,, menyayanginya, dan segalanya. Dan aku gak mau jauh darinya apalagi sampai kehilangannya.

Dan Diandra adalah cowok yang sangat baik, perhatian, romantis, selalu tepat janiji, kecuali janji yang kemaren. Dan hampir tidak ada celah yang bisa kujadikan alasan untuk menolaknya. Aku masih ingat, kami baru jadian setelah umur PDKT-nya dua tahun dua bulan, setelah kesekian kalinya Diandra memintaku untuk menjadi ceweknya.

“Diandra sangat menyayangimu, Arya membelai rambutku.”

Kutatap matanya. Hanya ketenangan yang kutemukan di sana. Dan aku selalu sedih setiap kali kuingat aku tak bisa menemukan jawaban itu dimatanya.

Arya, sebenarnya kamulah cowok yang sangat kusayangi. Sering terngiang di sanubariku, bahwa Arya juga sangat menyayangiku. Tapi, dari kata-katanya tadi, mungkin kah kata hatiku itu salah?

“Aku tahu,” kutundukkan kepalaku. “Gimana sama kamu? Siapa cewek yang sangat kamu sayangi?”

“Lihat, sinetron kesayanganmu sudah mulai.”

Terulang lagi. Lagi-lagi Arya mengalihkan topik pembicaraan. Lagi-lagi Arya tidak mau membahasnya. Aku mau tahu, Arya. Siapa cewek beruntung yang telah mendapatkan hatimu itu? Pantaskah aku menjadi gadis itu?

Ketika jam makan malam hampir tiba, aku memasak emlet mie untuk menunya. Meski hanya dinner biasa, aku tetap senang bisa berduaan dengan Arya. So, omlet mie buatanku harus enak.

“Aku sudah nelpon mama, bilang kamu nginep di sini.” . arya muncul di sampingku sambil nyobain omlet mie yang sudah masak.

Ya, Arya memanggil mamaku dengan sebutan mama juga. Begitu juga sebaliknya. Aku jadi semakin tidak mau kehilangan Arya.

“Enak!” Kata Arya sambil menganggukkan kepalanya. Dan dia tampak sangat menikmatinya.

Aku tersenyum bahagia. Jadi merasa seperti istri Arya, memasak makanan untuknya dan selalu berada di sisinya, mendukungnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya, dan bahuku selalu siap untuk disandari oleh Arya.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dari luar.

Arya segera melangkah menuju pintu depan.

Setelah itu….

Aku tidak tahu siapa tamu itu dan memangnya aku mau tau. Lebih baik meneruskan kerjaanku memasak omlet untuk Aryaku.

Kemudian aku membereskan meja makan, menata peralatan makan yang akan kami gunakan. Dan tak lupa menata omlet yang sudah selesai kumasak dengan penuh rasa aksih sayang.

Tapi, setelah selesai....

Suara dari luar, koq jadi agak ribut, ya. Aku jadi penasaran juga nich. Siapa tamu itu dan apa yang sedang terjadi di luar sana.

Aku berjalan dengan perlahan. Mencoba mengintip dan mencuri dengar.
Arya sedang duduk berhadapan dengan seorang gais berjilbab. Gadis yang cantik, anggun, dan tampak dewasa.

Aku bisa mndengar perbincangan mereka, meskipun tidak mengerti apa yang sedang jadi bahan pembahasannya.

“Kamu tidak bisa seperti itu!” Ucap gadis itu dengan lembut, meskipun ia tampak tidak setuju dengan apa yang telah didengarnya.

“Bukannya kamu sudah mengetahui dan memahami hal ini!? Balas Arya dengan dingin.

“Tapi ini tidak seperti yang aku bayangkan."

Arya diam. Matanya menatap lurus ke depan. Arya bersikap lebih dingin daripada saat bersamaku.

Gadis itu mengerutkan keningnya dengan keheranannya.

“Terserah kamu!”

Sejenak gadis itu terhenyak. Kemudian dia mengucapkan salam untuk berpamitan dan berlalu.

Sepeninggal gadis itu, Arya langsung menatap penuh arti ke arahku. Itu bukan sebuah tatapan marah karena aku ketahuan mengintip. Seolah itu sebuah tatapan sebagai harapan untuk bersandar di bahuku. Arya, jika itu bisa membuatmu lebih tenang.

Sedangkan aku hanya bisa tersenyum malu. Kemudian Arya berjalan melewatiku, menuju meja makan. Dan aku mengekor di belaknagnya.

Kami pun menikmati makan malam ini tanpa perbincangan sedikitpun.

Arya, kamu sudah meluluhkan hatiku.

Tidak lama kemudian, ada sms masuk di ponselku.

Sayang, ma’afin aku….

Jangan lupa makan malamnya, ya.

Diandra, kamu baik banget sama aku. Tapi....

“Diandra?’ Tanya Arya.

“Iya, Diandra minta ma’af,” jawabku sambil mencet keyboard ponsel untuk membalas sms Diandra.

Aku lagi makan nich.

Kamu jangan lupa makan juga, ya.

Mana bisa aku marah lama-lama sama kamu.

"Diandra perhatian banget sama kamu. Kalian cocok sekali.”

Ada getar yang berbeda dari suara Arya.

“Menurutmu begitu?”

“Kalian saling mencintai, bukan?”

Getar itu lagi. Ada apa? Aku menatap matanya.

"Henny?’

"Iya?!”
"Sudah kuduga.” Nanar matanya menerawang.

Oops, apa barusan aku menjawab iya? Aku kan sayangnya sama Arya.

Aku harus bagaimana?

Kenapa aku bisa merasa sangat nyaman terlindungi saat bersama dengan Arya bahkan di saat aku sudah resmi menjadi pacar Diandra? Kenapa aku merasa sakit hati dan sangat takut kehilangan Arya sat kulihat dia dengan gadis itu? Kenapa Diandra sangat mencintaiku, sementara itu hatiku selalu tertuju pada Arya?

Suasana kembali senyap.

“Arya…” aku memecah kesunyian. Rasanya ingin kuutarakan perasaanku ini.

Arya mengagkat kepalanya, menatapku. Sorot mata itu.... Aku ingin menangis melihatnya. Sorot mata itu begitu tulus dan tajam, seolah pesan tersembunyi dari si pemiliknya, tapi aku tak bisa mengartikannya.

“Siapa gadis itu?

“Zuraida.”

Arya tidak melanjutkan ucapannya.

Hanya itu? Arya, aku ingin tau, apa artinya dia bagimu.

“Apa dia…?”

“Aku sudah selesai. Aku tidur duluan, ya!” Arya memotong kalimatku dan segera beranjak dari tempat duduknya.

Arya selalu menghindar jika aku sudah bertanya berkaitan dengan kisah kasihnya.

“Arya....”

Arya menghentikan langkahnya. Dia menatapku.

“Have a nice dream, Henny. I’m yours,” Arya melanjutkan langkahnya.

I’m yours? Arya mengucapkan itu padaku? Apa itu berarti…?

*****

Aku berlari memasuki ruangan pernikahan itu. Aku terus berlari disertai rasa ketakutan. Dan seolah jalan yang akan kulalui itu tak berujung. Dan air mata tak dapat kubendung lagi.

Di sekelilingku orang-orang bersuka, mereka tertawa dan berbincang-bincang bahagia. Harum bunga yang tertempel di dinding, memenuhi ruangan itu. Ruanagn yang ditata dengan kombinasi warna putih dan hijau. Tapi, aku tak bisa menikmatinya. Semua itu semakin membuat hatiku perih.

Dan aku terus berlari dan menangis.

Langkahku terhenti. Hatiku semakin perih bagai teriris sembilu. Lewat genangan air mataku, aku masih bisa melihatnya. Dia yang sedang bersanding di pelaminan itu. Arya dan Zuraida. Mereka telah menjadi suami istri.

Hiks... Hiks... Hiks... Arya .

Lalu ada sentuhan lemut yang mampir di pundakku. Kutengok. Diandra. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya sambil terus menatap Arya dengan genangan air mataku.

Arya, aku sayang sama kamu.

Diandra menggenggam lembut tanganku.

Diandra, ma’afkan aku.

Kupejamkan mataku.

Kemudian aku tersentak dan kubuka mataku.

Aku terperanjat. Kuedarkan pandangnkuu ke sekelilingku.


Kamarku?

Aku memejamkan mataku lagi. Dan mencoba mengingat semuanya.


Mimpi.

Ya, yang kusaksikan tadi hanyalah mimpi. Syukurlah.

*****

Jam sarapan tiba.

Aku dan kedua orang tuaku menyantap sarapan dengan nasi goreng sebagai menunya.

“Bagaimana? Henny, mau pergi sama mama-paa atau sama Diandra?” Tanya mama.

“Hmm? Pergi ke mana, ma?”

“Lho?” Mama menatap keheranan pada papa.

“Oh iya, ma. Undangannya kan baru datang kemaren. Jadi Henny sempat lihat lihat.”

“Benar juga. Tapi tentunya Henny sudah tau bahkan sebelu kita mngetahuinya, karena Henny dan Arya kan sangat akrab, tak mungkin Arya tidak menceritakannya pada Heny. Meskipun bagi kita, ini sangat mendadak dan seolah tanpa rencana. Lagi pula Arya baru lulus beberapa mingu yang lalu.”

Mama bicara apa sich? gumamku

“Ini!” Mama menyodorkan sebuah undangan kepadaku.

Aku menerima undangan itu dan segera membacanya.

Apa? Mataku memanas. Dan nafasku tidak beraturan.

Nama Arya dan Zuraida terukir dengan indah di dalam undangan itu. Mereka akan menikah.

“Ma, pa, Henny udah selesai.” Aku segera berlari ke kamarku.

Aku langsung merebahkan diri di tempat tidurku. Kutumpahkan segala kesedihanku dengan menangis.

Arya akan benar-benar menjadi suami Zuraida. Dan mimpi itu sebagai pertandanya, seolah ia mau menceritakannya terlebih dulu agar aku tak bgitu terkejut seperti sekarang ini.

Hatiku sakit. Sakit banget. Bagaimana aku bisa menghadapi ini semua. Membayangkan Arya jauh dariku saja aku tidak sanggup apalagi melihanya bersanding di pelaminan.dengan gadis lain.

Arya, jadi selama ini aku tak berarti lebih dari saudara, bagimu?

Arya, aku telah kehilanganmu. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku sedangkan kau sudah menjadi milik orang lain?

Tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk rupanya.

“Arya.” Kubaca nama di layar ponselku itu.

Aku ingin menerimanya, aku ingin mendengar suara Arya, itu yang selalu membuatku tenang dan nyaman. Dan aku merasa tak bisa berkata apapun pada Arya.


Lama tak ku terima panggilan itu. Dan ponsel itu tetap berdering.

Dengan menguatkan diri, akhirnya kuterima juga panggilan itu.

Sunyi.

Sunyi.

Tetap tak ada yang mulai bicara.

“Henny?” Arya memulai.

Aku hanya menahan tangisku.

‘Henny?”

“Ya, kak Arya?” Tangisku masih bisa kutahan.

“Kamu memanggilku ‘kak Arya’?

Tangisku sudah hampir pecah lagi. Aku ingat, dia akan menjadi suami gadis lain. Zuraida, siapa gaidis itu? Aku ingin berteriak padanya.

“Tidak apa. Henny, aku mau bilang....”

“Bilang apa?” Sahutku pelan yang akhirnya dengan tangis juga.

“Henny, kamu menangis?”

Tak mungkin bisa kujelaskan bagaimana perasaan ku sekarang.


“Henny, Zuraida adalah anak atasankuku sewaktu aku masih kuliah kemaren.....”

“Dan kamu tidak bisa memungkiri kalo kamu telah jatuh cinta padanya?” Desakku dengan sesenggukan.

“Tidak, bukan begitu?”

“Arya, aku selalu menceritakan apapun padamu, sebaliknya kamu, bahkan hal sebesar ini tak kau ceritakan padaku.”

“Henny....”

“Aku sudah menerima undangan pernikahan kalian. Selamat, ya.’
“Henny, malam itu… aku telah mengatakannya pada Zuraida untuk yang kesekian kalinya, ‘aku mencintai Henny’.”

“Apa?” Aku gemetar mendengarnya.

“Dan saat di meja makan, kau mengiyakan bahwa kalian saling mencintai. Lalu apa lagi yang bisa kulakukan? Tadinya kupikir, Diandra bukan orang yang kau cintai, karena itu aku tetap menunjukkan rasa sayangku padamu lewat hari-hari yang kita habiskan bersama. Tapi, ternyata pikiranku salah. Dan Zuraida mengikhlaskan dirinya untuk mendampingiku meskipun hatiku akan selalu tertuju padamu, entah sampai kapan ataukah tak akan pernah berakhir.”

“Arya...?” aku kembali menangis. Tapi kali ini tangisku adalah sebuah tangisan bahagia karena telah kuketahui bahwa cintaku tidan bertepuk sebelah tangan. Arya juga mencintaiku.

Tunggu dulu! Arya bilang aku mencintai Diandra. Jadi ini yang menyebabkan dia mengambil keputusan ini?

“Henny?”

“Ya, Arya?”

Haruskah aku katakan bahwa pria yang aku cintai adalah dirinya? Lalu apakah keadaan akan berubah? Arya tidak akan menikah dengan Zuraida? Jika pernikahan itu dibatalkan, mungkin Zuraida akan sangat sakit hati, karena sepertinya gadis itu juga sangat mencintai Arya? Meskipun kuyakin, cintanya tidak sebesar cintaku pada Arya.

“Henny, do’aku untuk kebahagiaan kalian akan selalu menyertaimu.”

Tanpa kusadari, tak ada lagi air mataku yang mengalir lewat sudut mataku.

“Arya, beruntung sekali kamu karena telah mendapatkan gadis setulus Zuraida. Dan aku yakin dia sangat mencintaimu dan akan bersedia selalu berada di sampingmu.”

“Henny, boleh kutanyakan satu hal lagi?’

Aku tak menjawab.

“Kamu bahagia dengan Diandra? “Tanyanya terbata-bata

“Jika hal itu bisa membahagiakan Diandra dan Zuraida, maka jawabannya adalah ‘ya’.”

Dapat kurasakan keterkejutan Arya di ujung telepon sana.

“Maksud kamu, aku telah salah paham? Kau juga mencintaiku kan? Iya kan, Henny?” Arya terdengar sangat senang diketerkejutannya ini.

Aku tak menjawab, karena itu memang benar.

“Henny, aku akan bilang pada Zuraida bahwa kita saling menyayangi dan aku akan….”

“Tidak, Arya. Itu tidak mungkin.”

“Tak ada yang tak mungkin, Henny.”

“Zuraida dan Diandra, rasanya aku tidak bisa membayangkan , bagaimana jika mereka mngetahui ini.”

“Tapi kita berhak bahagia, Henny.”

“Dan mereka juga berhak bahagia.”

“Dengan mengorbankan perasaan kita?”

“Pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan, Arya. Undangan kalian sudah tersebar. Apa kata mereka jika tiba-tiba dibatalkan? Belum lagi dengan keluarga kita dan keluarga Zuraida. Dan Zuraida….”

"Tapi, aku ingin bersamamu.”

Kenapa sekarang keadaannya terbalik? Biasanya Arya yang selalu bersikap lebih dewasa dan aku hanya bisa merengek.
“Aku juga ingin bersamamu. Tapi aku tidak tau bagaimana harus menjalani ini semua.’
Tak kudengar suara dari ujung sana. Kurasa dia sedang memikirkan perkataanku tadi.
Setelah beberapa menit yang disertai sebuah kesenyapan.
“Henny, aku akan selalu menyimpan dan memupuk rasa sayangku padamu ini. Dan benar perkataanmu tadi.”

Syukurlah Arya sudah memahami keadaan kami sekarang.

“Boleh kuminta satu hal padamu?”

“Apa?”

“Kuminta kau juga melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan___ menikah dengan Diandra dan kau berjanji untuk selalu menyimpan dan memupuk rasa sayangmua padaku.”

Arya, tanpa kau pinta pun, aku tidak akan pernah bisa bepindah hati pada orang lain, meskipun orang itu Arya.

Aku tersenyum hambar.

“Kau tersenyum, Henny? kita sepakat!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar