Rabu, 30 Oktober 2013

Bertemu Kamu




Bertemu dengan kamu itu benar-benar cara ALLAH untuk mempertemukan kita.
Dekat denganmu itu satu cara ALLAH untuk mengajarkanku arti sebuah hubungan yang tadinya tidak kumengerti.
Mencintaimu juga suatu cara ALLAH untuk menegurku bahwa tidak semua cinta itu menyakitkan.

Ingat kamu membuat aku kembali bersyukur kepada ALLAH karena telah
mengirimmu untuk ikut menjagaku dengan sikap menghargaimu. Karena itu aku juga menghargaimu.

Saat merindukanmu, kuucap istighfar. Karena aku takut itu mnyebar lalu membutakan rasa maluku.

Mau menahanmu di sini, di sisiku saja.
Mau memintamu satu, untukku saja.

Seringkali waktu terasa tidak cukup saat bersamamu.
Dan aku bersyukur bisa melewatinya bersamamu.

Di Sini



Tidak ingin beranjak dari tempatku saat ada kamu di sampingku.

Tidak ingin beralih saat ada kamu yang memandangi.

Tatap mata teduhmu tadinya  kupikir hanya ada dalam cerita pendekku.

Hangat kasihmu tadinya kupikir hanya ada di anganku.

Lembut perhatian cukupmu tadinya kupikir hanya ada di inginku.

Sikap menghargaimu tadinya kupikir hanya ada dalam khayalku.

Terimakasih telah menjadi titipan ALLAH untuk menjagaku dengan sikap menghargaimu.

Ya ALLAH terimakasih telah menghadirkan dia  sebagai teman dekatku saat ini.

Ya ALLAH, doa’a dan harap kami, jadikanlah kami teman hidup halal yang Engkau Ridho’i.

Minggu, 29 September 2013

Ly & Addach














Perempuan Itu......

“Hmm...” aku menggeliat di tempat tidur sambil perlahan membuka mata. Lalu sesekali mengedipkannya sambil melihat ke sekeliling.
Ya, benar. Aku masih di tempat ini. Di mess. Ya, sebenarnya ini kantor tempatku bekerja. Tapi, karena ini juga menjadi tempat tinggal beberapa senior kerja ku, aku jadi ikut terbiasa menyebutnya mess.
Kusadari hari sudah agak sore. Dan sekejap saja aku juga menyadari apa yang menyebabkanku terbangun di tidur siangku ini. Rupanya benar ada suara-suara agak ribut itu.
Aku bangun dan mendudukkan badanku. Kulihat Wulan juga terbangun dan duduk berjuntai di tepi ranjang sambil menguncir rambut panjangnya. Wulan adalah teman kerjaku yang lebih muda dariku.
“Ly,” sapa wulan sambil melihat ke arahku sebentar lalu tetap melanjutkan merapikan rambutnya.
Setelah selesai menguncir rambutnya, Wulan berjalan ke arah arah tangga, menuruni anak tangga. Mungkin Wulan mau ke kamar mandi yang letaknya di lantai satu, cuci muka atau mau sekalian mengambil air wudhu. Karena kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul empat, sudah masuk waktu shalat ashar rupanya.
Aku juga sedang merapikan rambutku ketika kulihat, yunif (teman kerjaku juga) sudah menaiki lebih dari separuh tangga ketika dia sudah melihatku.
“Ly?” sejenak dia tampak terkejut. “Hei, kukira kamu masih tidur.” Dia hendak berbalik kembali menuruni anak tangga.
“Kenapa?” Tanyaku sambil berdiri setelah selesai merapikan rambutku. Aku juga mau ke kamar mandi, cuci muka sekalian mengambil air wudhu.
“Gak. Cuma mau bangunin kamu qo. Sudah ashar.”
“Iya.”
Yunif pun langsung turun.
Aku pun melangkah.
Langkahku terhenti saat aku dapat melihat ke lantai satu. Kupegangi tepi pagar lantai dua ini sambil memperhatikan ke arah bawah. Aku juga dapat mendengar yunif berbicara. Sepertinya dia mencoba memberitahukan pada ka’ Novi, senior di tempat kerja kami yang juga menjabat sebagai kepala kantor. Aku tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakannya. Sepertinya dia memberitahukan siapa yang berkunjung. Rupanya suaranya yang tadi kudengar sayup-sayup saat antara aku terlelap dan terjaga. Memangnya siapa yang datang.
Aku tak begitu memperhatikan apa yang dikatakan oleh yunif. Karena seketika itu juga aku melihat sosok itu.
Dia sedang berbicara dengan seseorang yang tak kukenal. Mereka sama-sama berdiri di balik pembatas ruang tamu dengan ruang kerja kami. Mereka saling berbicara dengan agak canggung. Setidaknya seperti itu dugaanku, karena hanya punggung mereka berdua yang dapat kulihat.
Setelah beberapa detik kemudian, aku tahu. Riza sedang berbicara dengan seorang perempuan yang berambut panjang, mengenakan baju kaos berlengan panjang berwarna biru muda dan celana jeans skinny, dia juga mengenakan kerudung. Tapi sepertinya kerudungnya hanya dibiarkannya bergerai di atas kepalanya, jadi rambutnya tetap terlihat dari belakang maupun depan.
Kulihat, sepertinya Riza tampak setengah hati berbicara dengan perempuan itu. dan sebaliknya, kulihat perempuan itu tampak sangat antusias berbicara dengan riza. Kulihat juga ka’ Novi keluar kamar sebentar. Dia melihat ke arah perempuan itu sambil berbisik kepada yunif yang masih ada di depan kamarnya. Lalu dia melihat ke arahku. Sepertinya dia juga menyadari kehadiranku yang sedari tadi memperhatikan dua orang yang di depan itu. lalu dia kembali berbisik kepada yunif. Tak lama kemudian, ka’ Novi masuk kembali ke dalam kamarnya sambil menutup pintu kamarnya. Dan yunif melangkah ke arah dapur setelah sebelumnya sebentar melihat ke arahku lalu segera (sebentar juga) melihat ke arah dua orang itu.
Apa yang ada di dalam pikiranku?
Aku seperti pernah melihat permpuan itu. Tapi, di mana? Rasanya aku bahkan belum pernah mengenalnya. Aku mencoba mengingat. Tapi, aku tetap tak berrhasil. Siapa perempuan itu? Kenapa dia berbicara dengan bahasa tubuh yang seperti itu saat dengan Riza seperti sekarang ini? Juga, kenapa Riza tampak seolah tak mau berbicara dengannya seperrti itu?
Beberapa pikiran buruk tiba-tiba bersemayam di benakku. Tapi, segera kutepis. Karena aku tak mau langsung menuduh macam-mcam. Lagi pula mereka hanya berbicara. Tak lebih. Tapi, benarkah Riza sama sekali tak menyadari keberadaanku yang sedang memperhatikannya? Padahal sekilas tadi, aku sempat merasa dia menyadari kehadiranku. Tapi, nyatanya dia sama sekali tak menoleh ke arahku seperti yang dilakukan oleh Yunif dan ka’ Novi.
Siapa sebenarnya perempuan itu?
Aku pun mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran buruk itu. kupaksakan diri melangkah, menuruni anak tangga sambil mencoba tetap mengingat-ingat. Benarkah aku pernah melihantnya? Di mana? Aku melangkah ke arah kamar mandi. Di dasar tangga. Aku berpapasan dengan Wulan. Benar, wulan sudah mengambil air wudhu dan tampaknya dia mau shalat ke atas.
Aku melangkah dengan mencoba tak mengkhawatirkan tentang Riza yang sedang bersama dengan perempuan itu. meskipun sebenarnya ada perasaan yang agak mengganjal. Ya yang itu tadi. Sepertinya aku pernah melihat permpuan itu. Dan perasaanku juga merasa sepertinya ada sesuatu darinya yang ada hubungannya dengan Riza.
***
Setelah selesai mengambil air wudhu, aku melangkah ke kamar ka’ Novi. Sekali aku mencoba memberi sinyal kepada kedua orang itu bahwa ada aku. Tapi, tak digubris. Sekali kucoba lagi. Tetap tak digubris. Dengan apa aku mencoba memberi sinyal itu? Dengan melangkah sambil sesekali dalam beberapa detik melirik ke arah mereka berdua. Aku menghela nafas. Lalu aku tiba di depan kamar ka’ Novi. Kuketuk pintu kamarnya. Ka’ Novi pun membukakan pintunya dan mempersilahkan aku masuk ke dalam kamarnya. Dia memberi isyarat dengan bahasa tubuhnya bahwa dia mengerti tentang apa yang sedang kukhawatirkan.
Dan aku yang sedang merasa lumayan geram karena Riza sama sekali tak menghiraukan kehadiranku, dia malah terus asik mengobrol dengan perempuan itu. Iiiii.... menyebalkan. Aku pun masuk ke dalam kamar ka’ Novi sambil membanting pintu. Berharap Riza melihat ke arahku.
Yup. Berhasil. Akhirnya sejenak tadi aku sempat melihatnya menengok ke arahku dengan mimik wajah tak enak. Entah Riza merasa tak enak karena apa. Karena aku yang melihatnya berduaan dengan perempuan itu atau tak enak karena ada aku yang baginya cukup mengganggu keadaannya saat ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu melihat ke arahku dengan muka merengut, merasa terganggu.
***
Aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling. Oo... Kamarku? Ya, aku terbangun di tempat tidurku yang masih berada di dalam kamarku juga di rumahku sendiri. Hmm....
Jadi yang tadi hanya mimpi. Alhamdulillah. Itu hanya mimpi.
Ya ALLAAH, bahkan dalam mimpi pun aku sudah merasa sangat tidak nyaman dan kesal saat melihat Riza berbicara seperti itu dengan perempuan lain. Alhamdulillah itu hanya mimpi. Dan semoga tak pernah menjadi nyata yang seperti itu, mendekati seperti itu, apalagi yang lebih dari itu. Semoga hal seperti itu tak pernah terjadi di dunia nyataku.
***
Siang harinya di kantor.
Di waktu istirahat makan siang, seperti biasa. Kami makan siang bersama, aku dan Riza. Aku ceritakan tentang mimpiku tadi malam padanya. Mungkin aku bercerita dengan agak kesal yang begitu dapat dilihat Riza sehingga dia meyakinkanku bahwa hal seperti itu hanya mimpi dan dia tidak mungkin tidak menghiraukanku seperti itu tadi. “Tadi malam aku mimpi kamu,” umbarku pada Riza.
“O ya?” Dia tampak bersemangat mendengar dirinya ada dalam mimpiku. “Gimana ceritanya?”
Aku menatapnya sambil merengut. Iiiiiii... menyebalkan, gumamku dalam hati.
“Kenapa?” Tanyanya. Sepertinya dia dapat membaca raut mukaku.
“Kamu sama cewek lain. Dan sama sekali gak memperdulikanku. Padahal aku ada di tempat kamu itu juga.” Jelasku sambil melihatnya dengan takut.
Aku tidak mau itu terjadi.
“Itu kan cuma mimpi. Aku gak mungkin seperti itu,” dia menyakinkanku.
“Tapi,.....”
“Sudah, jangan dipikirkan. Itu cuma mimpi.”
Ya, aku tersenyum, merasa lega.
***
Sejenak aku terhenyak. Aku dapat melihat dengan jelas sosok perempuan itu. dan aku ingat pernah melihatnya di mana. Perempuan itu.... Dia mantan cewek Riza tepat sebelum aku....