Sabtu, 12 Mei 2012

MENGEJAR VIDYA

Fuih! Risadi menarik nafas lega.

Cowok berkulit putih ini melangkah memasuki kelas barunya. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling ruangan itu. Rasanya ia tak pernah melihat wajah-wajah itu. Yang sebenarnya hanya tak pernah diperhatikannya saja.

Kelas XII IPA 1, tempat berkumpulnya siswa-siswa terpilih.serius sekarang itu juga kelas Risadi? Tadinya , untuk menengok kelas itu saja tak pernah terpikir olehnya. Apalagi menjadi salah satu penghuninya.

Risadi tentunya bukan siswa terpilih secara legal, yang termasuk berhak duduk di kelas itu. Dia jauh lebih baik dalam pergaulan daripada dalam pelajaran. Lagi pula setiap adalatihan, Pr, ataupun ulangan, selalu ada teman yang mau berbagi dengannya. Dengan ketentuan yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak tentunya. Ya, bukan masalah.yang penting, Risadi tetap bias naik kelas dengan nilai hasil dari semua itu.

Namun, sejak hari itu, semuanya berubah. Sejak hari dimana diadakannya pembagian raport, sejka pertama kali Risadi melihat cewek itu, cewewk manis dengan penampilannya yang sederhana.. sebuah pertemuan yang tak disengaja. Waktu itu, Risadi sedang menghindar dari kejaran Si cewek centil, Cantika, dan ia pun tersesat di perpustakaan. Di ruangan yang dipenuhi buku itulah, Risadi menemukan sosok cantik itu. Dan Risadi langsung terpesona olehny. Kemudian, Risadi langsung meminta pada papanya yang salah satu donator terbesar di sekolahnya untuk menempatkannya di kelas yang sama dengan cewek itu.

Risadi menghampiri cewek yang sedang membaca buku itu.

”Hai!” sapanya.

Sejenak, gadis itu menatap Risadi, lalu kembali menekuni bukunya.

“Vidya renggani. Nama yang cantik,” puji Risadi, tetap m,encoba mengalihkan perhatian gadis itu padanya.

Cukup lama tak melihat perubahan respon dari gadis itu, Risadi pun duduk di sampingnya.

Masih dalam dunianya, gadis itu tak bergeming.

Dan tentunya, kamu sudah kenal denganku. “Iya kan?”

Tetap saja Risadi tak dipedulikan oleh gadis itu.

Tak lama kemudian, gadis itu berdiri dan melangkah ke luar kelas.

Di depan pintu, Vidya berpapasan dengan A’am, ketua OSIS. Dan keduanya pun saling menyapa dengan senyuman.

“Manis sekali,“ gumam Risadi.

Risadi melihatnya. Senyum gadis itu. Dia tampak semakin manis dibalut dengan senyum itu. Dan sepertinya, ketua OSIS itu sduah cukup emngenalnya. Mungkin Risadi bias tau lebih banyak tentang gadis yang bernama Vidya itu dari A’am. Itu berarti ia harus berteman dengan pria pintar itu.


Pagi-pagi sekali mading sekolah sudah dipenuhi oleh siswa-siswa kelas tiga SMU favorit itu. Semuanya ingin melihat pengumuman kelulusan. Berbagai macam suara pun menggema diantara mereka. Ada suara sorak
kegirangan. Ada tangis haru bahagia. Ada juga yang syok, gak bisa bicara lagi, hanya bisa terduduk lemas.

Dari ujung lorong sana, tampak sesorang berlari. Larinya cukup cepat. Dengan nafas yang masih tidak beraturan, dia memasuki gerombolan anak di depan madding. Pertama-tama yang dilihatnya adalah nama yang terletak di peringkat pertama, Vidya renggani. Sudah diduganya. Kemudian, dia melihat namanya, Risadi. 19. Namanya terletak di nomor urut 19, itu artinya dia peringkat ke-19 dari seluruh siswa kelas tiga. Nilai yang jauh dari bayangannya selama ini. Ia pun bersorak girang. Akhirnya, Risadi bias juga membuktikan kalau dia juga bisa berprestasi dalam pelajaran.

“Vidya harus mengetahui ini.” tekad Risadi.

Dengan pasti, Risadi melangkah menuju kelasnya. Dia berniat mencari Vidya. Namun, setibanya di kelas, tak dapat matanya menemukan sosok Vidya. Kemudian, Risadi berusaha mencari Vidya di perpustakaan, tempat favorit Vidya.tapi, tetap saja tak ditemuinya. Risadi pun mulai cemas, namun dia tetap mencari. Ia mencari ke setiap tempat di sekolah. Bahkan tak ada satupun dari tempat itu, dapat ditemuinya Vidya.

“Di mana Vidya?” Risadi melangkah gontai.

Risadi harus menemui Vidya. Ia harus memberitahukan tentang nilainya. Selain itu, ada satu hal penting lagi yang harus diketahui Vidya darinya. Ya, bahkan ia belum pernah mengatakan kalau Vidya lah gadis yang dicintainya. Risadi harus mengatakan ini. Tak boleh terlambat. Tapi, di mana Vidya?

“Hai, Risadi!” sapa sebuah suara genit.

Seperti biasa, Risadi tak mempedulikan suara itu.

Mellisa adalah gadis yang sudah lama menyukai Risadi. Lebih tepatnya salah satu fans Risadi. Resiko pria ganteng. Risadi kan pangeran sekolah, gaul, atlet tennis meja yang sering memenangkan kejuaraan yang diikutinya., aktif di OSIS sebagai ketua seksi olahraga, dan kaya.

Dengan genitnya, Mellisa tak pernah putus asa. Tetap diiringinya langkah Risadi. “Kamu kenapa? Ada masalah?”

“Ma’af, tolong tinggalkan aku.”

Mellisa mengerutkan keningnya. Rasanya sudah setahun ini, Risadi sudah jauh berubah, sikapnya jauh lebih sopan daripada sebelumnya, meskipun ia tetap saja tak mempedulikan kehadiran Mellisa. Tak apa, mungkin ini memang belum waktunya. Mellisa akan terus berusaha. Tapi, apa yang sudah membuat Risadi berubah sedrastis ini?

“Risadi, mungkin aku bisa membantumu,” Mellisa tetap berusaha.

Risadi terus melangkah menuju ke arah luar sekolah.

“Risadi?”

Risadi menarik nafas panjang dan berhenti melangkah. Ditatapnya Mellisa dengan kesal, “Aku mencari Vidya.”

“Apa?” untuk apa Risadi mencari Vidya? Jadi benar gossip tentang Risadi yang berusaha mendapatkan hati Vidya. Hah? Ini tidak mungkin. Mellisa jauh lebih cantik, fashionable, dan gaul daripada Vidya. Kenapa Risadi memilih Vidya?

“Mel? Kamu melihatnya?”

“Kenapa harus Vidya?”

Risadi mengerutkan keningnya. Mellisa tidak berhak menanyakan ini apalagi marah pada Risadi hanya karena ini. Mellisa bukan siapa-siapa Risadi. Risadi tak punya waktu, ia harus segera menemukan Vidya dan menyatakan perasaannya. Risadi pun kembali melangkah. Kali ini langkahnya lebih cepat.

Sementara itu, Mellisa memandangi kepergian Risadi dengan sedih. Jadi gossip itu benar?

*****
Tiba di depan gerbang sekolah, mata Risadi menangkap sosok Vidya. Gadis itu sedang duduk di halte bis. Dengan penuh semangat, Risadi merasa sangat beruntung bias menemukan Vidya. Risadi pun segera berlari kea rah halte bis.

Namun, belum sempat Risadi tiba, sebuah bis berhenti di halte bis itu dan Vidya pun menghilang dari pandangannya masuk ke dalam bis. Risadi berteriak memanggil Vidya, tapi suara bising kendaraan bermotor telah menelan suaranya. Vidya pun tak menyadari kehadirannya.

Risadi menghentikan langkahnya dengan nafas terengah-engah.

Sejenak Risadi mengenang sikapnya selama ini, sebelum ia mengenal Vidya. Dia memang seorang playboy, tapi itu sebelum ini. Sebelum perasaa yang tulus pada Vidya ini dirasakannya. Tak pernah dia menemukan gads seperti Vidya, gadis yang hanya mempedulikan pelajarannya dan sangat peduli dengan teman-temannya. Gadis sederhana yang sangat manis. Terlebih lagi, ia satu-satunya gadis yang telah manghadirkan cinta tulus yang dirasakan Risadi sekarang. Dan Risadi yakin, Vidya akan menerimanya. Karena dia telah berubah sesuai dengan petuah-petuah A’am yang telah menjadi temanya. Risadi bukan lagi pria playboy yang sombong dan hanya mempedulikan pergaulan. Bahkan sekarang Risadi juga sudah bias masuk 20 besar, nilai yang sangat jauh lebih baik dari nilai-nilainya sebelumnya. Ini pun ia dapatkan dari bantuan A’am yang rela berbagi ilmu padanya. Awalnya ia melakukan ini semua memang karena Vidya, tapi belakangan ia sadar bahwa inilah yang memang harus dilakukannya jika ia mau sukses di kemudian hari. Tetap saja Vidya yang telah menyadarkannya tentang semua ini.

“Di, sedang apa di sini?” seseorang mengejutkan Risadi.

Risadi menoleh ke arah suara itu.

Gilang, teman breakdance Risadi. Pria ini sedang duduk di atas sepeda motor ninjanya yang masih menyala.

Risadi tak menyia-nyiakan kesempatan ini. “Boleh kupinjam motormu?”

“Mau ke mana?”

“Mengejar seseorang. Dan ini masalah hidup dan matiku.”


“Benar begitu? Tentu saja,” Gilang turun dari motornya.

Dan seketika Risadi sudah melaju dengan motor Gilang. Dikejarnya bis yang sedang ditumpangi Vidya. Dan pada saat yang tepat, Risadi menghalangi bi situ dengan menghentikan motor yang dikendarainya tepat di depan bis itu.

Supir bis itu langsung ngerem. Seluruh penumpang pun dibuat kaget karenanya. Untung tidak ada yang terluka.

Melihat bis sudah berhenti, Risadi langsung turun dari motornya dan melangkah memasuki bis itu. Matanya mencari sosok Vidya, meskipun langkahnya diiringi tatapan tak suka dari para penumpang. Dan langsung menghampiri sosok itu.

“Vidya!” Risadi menyapa Vidya.

“Kamu? Sedang apa di sini?” tanya Vidya gugup.

Sebenarnya sudah selama setahun ini Vidya merasa tidak nyaman dengan Risadi. Bukan karena dia tidak suka dengan pria itu. Tapi, ada hal lain yang membuatnya merasa bersalah. Vidya tahu Risadi menyukainya. Dan sekarang tak ada hal yang bias menjadi alasannya untuk tidak menyukai Risadi. Pria itu juga sangat manis, sebenarnya dia juga pintar. Tapi, ini hanya jika Vidya masih tidak sendiri. Bagaimana Vidya bisa menjelaskannya?

Mata Risadi tak lepas menatap wajah Vidya. “Ada yang ingin aku katakan padamu.”

“Silahkan.”

“Tak bisa di sini.”

“Baiklah.” Bagaimanapun juga Vidya tetap harus mengatakannya meskipun akan sangat menyakitkan.

Sebelum turun dari bis, Risadi mengucapkan terimakasih pada para penumpang dan supir bis itu karena telah mengijinkannya menemui Vidya. Mereka pun bisa mengerti. Kemudian Risadi turun diiringi oleh Vidya.

Risadi menggiring motornya menepi. Dan Vidya mengikutinya dari belakang sambil terus menyusun kalimat-kalimatnya. Mereka tiba di sebuah bangku panjang di bawah pohon di tepi trotoar. Setelah meletakkan motornya dengann benar, Risadi menatap Vidya. Sedangkan Vidya hanya menundukkan kepalanya.

“Vidya, aku lulus dan namaku berada di peringkat ke-19.” seru Risadi girang.

“Selamat, ya!” ucap Vidya tulus sambil menatap Risadi.

Risadi tersenyum dan sekali lagi dia mengagumi tutur Vidya yang lembut dan sikapnya yang sangat manis. Dan vidya gadis yang cantik.

Hening. Kebisuan menengahi kedua insan ini.

Perlahan Risadi menggapai kedua tangan Vidya. “Aku mencintaimu,” ucapnya tanpa ragu.

Sejenak Vidya terhenyak. Aku mengetahuinya, Risadi. Aku tahu tentang ini sejak pertama kali kamu mengajakku bicara. Batin Vidya.
Risadi menunggu jawaban Vidya.
Lama….
Tetap tak ada jawaban dari Vidya. Ia hanya menundukkan kepalanya.

“Vidya, kamu tidak apa-apa?”

Lalu Vidya mencoba memberanikan diri menatap wajah Risadi. Ia mencoba tersenyum pada pria itu. Vidya tau senyum saja tak dapat membantu untuk membuat Risadi tidak apa-apa setelah mendengar penjelasannya kali ini.

Risadi membalas senyum itu. Ia menunggu harap-harap cemas.

“Aku bukan orang seperti yang kamu bayangkan” Vidya membuka mulut.

“Hah?”Risadi menatap kaget. Apa maksudnya?

Dia. Di hatiku sudah ada dia.”

Seperti dikoyak rasanya dada Risadi mendengar perkataan Vidya ini. Vidya, gadis yang diharapkannya, ditunggunya, selama ini, dan yang membuatnya berubah, ternyata menyimpan hatinya untuk orang lain. namun, Risadi tak mau menyerah. Lagi pula, bukannya belum ada surat undangan pertunangan apalagi perkawinan? Jadi, Vidya masih bebas.

“Begitu?”

Vidya mengangguk ragu. Semudah inikah Risadi dapat menerimanya? Risadi pria yang baik. Vidya tidak mau membuatnya sakit hati. Tapi, dalam hal ini, mana bisa Risadi tidak sakit hati. Dan Vidya tidak bisa meninggalkan kekasih hatinya.

“Ma’af,” hanya ini yang bisa diucapkan Vidya. Ia berharap kata ini dapat mengurangi sedikit rasa sakit hatinya.

“Tak apa. Kita bisa mencobanya dari awal. Kau bisa mencintaiku bahkan setelah kita menikah nanti. Untuk saat ini aku bisa menerimanya jika diantara kita masih ada perasaanmu untuk orang itu”

“Apa?” Vidya tersentak kaget. Mana bisa begitu.

“Vidya, sedang apa di sini?” seru sebuah suara pria.

Seketika Vidya dan Risadi menoleh ke arah suara itu.

“Aku….?”

“A’am?” kenapa A’am berbicara seolah dia berhak terhadap Vidya?

“Risadi? Kalian sedang apa disini?” A’am tersenyum pada Risadi lalu memberi isyarat pada Vidya dengan tatapannya, ada apa ini?

“Kebetulan sekali,” ujar Risadi. “Kamu bisa jadi saksi diantara aku dan Vidya. Kamua tau? Aku sudah menyatakan perasanku padanya.”

“Apa?” rona wajah A’am pun segera berubah sambil tak lepas tatapannya dari wajah Vidya.

Risadi mengangguk antusias.

Sedangkan Vidya hanya menatap takut-takut ke arah A’am.

Seketika Risadi merasa aneh dengan suasana ini. “Kalian…? Heh? A’am, kenapa wajahmu seperti orang yang sedang cemburu? Dan Vidya…? Ada apa ini?”

Dengan segera A’am menarik tangan Vidya. Vidya pun tertarik berdiri di sampingnya.

Risadi tersentak kaget. Dan ia pun ikut berdiri. Ia tak suka melihat A’am bersikap seperti ini pada vidya. Mana boleh tangan Vidya dipegang pria selain dirinya. Apalagi mereka tampak sangat dekat daripada biasanya.

“Aku dan Vidya….”

Vidya menggenggam tangan A’am, lalu menatapnya dengan penuh harap. Ia berharap A’am mengerti isyaratnya ini. “Aku yang akan menjelaskannya,”serunya mencoba menenangkan A’am.

“Kalian…?”

Rasanya tak sanggup lagi Risadi berucap. Ia berharap yang akan dihadapinya ini tak seperti yang baru saja
dipikirkanya. Vidya dan A’am? A’am bukan pria yang mudah dekat dengan seorang gadis. Bahkan sikapnya selama ini seolah menyatakan belum ingin bersama seorang gadis. Tidak hanya satu dua gadis yang mendekatinya, lalu semuanya hanya dianggapnya sebagai teman. Tak heran banyak gadis yang ingin jadi kekasihnya, karena selain tampan, dia juga ketua OSIS, ramah, dan tentunya jauh lebih pintar dari dirinya. Ya, A’am menduduki gelar peringkat kedua terbaik di SMA ini. Dan sikap A’am selama ini juga sangat bersahabat dengannya. A’am lah yang bersedia menjadi pendengar terbaiknya mengenai cerita dan harapannyanya tentang Vidya. A’am juga yang selama ini menjadi penyemangatnya untuk tetap berusaha demi Vidya, salah satunya dengan belajar untuk setidaknya masuk dua puluh besar. Lalu, sekarang apa yang akan dijelaskan oleh kedua orang yang berada di depannya ini?

Ini waktunya, Di. Waktunya kamu tau. pelan-pelan Vidya menyusun kata demi kata yang akan diutarakannya pada Risadi. “Sebelum ini aku tidak mungkin mengatakan ini padamu. Karena kamu tak boleh jatuh bahkan setelah kamu mengetahui semua ini___ Kita tidak bisa bersama.”

“Ha?” hanya ini yang bisa didengar dari mulut Risadi saat ini apalagi setelah ia melihat genggaman tangan A’am dan Vidya. Kemudian, Risadi menundukkan kepalanya, berusaha menahan sesuatu yang mau mengalir dari sudut matanya. Dan matanya pun tampak berkaca-kaca.

“Risadi, kau tak boleh….”

Tak boleh apa?” teriak Risadi memotong kalimat Vidya. “Tak boleh ikut merasakan kebahagiaan yang sekarang kalian rasakan? ____ Sejak kapan? Sejak kapan kalian menyembunyikan ini dariku?”

Vidya masih ragu, tapi ia tetap harus menjelaskannya. Tak boleh menyakiti Risadi lebih dari ini. Tak boleh menyembunyikan apa-apa lagi dari Risadi.

“Sejak pertama kalinya kami sekelas di sekolah tingkat pertama.” Dengan berat, Vidya melanjutkannya, “Dan dua hari lagi, aku dan A’am akan bertunangan.”

Lagi-lagi Risadi dibuat kaget karenanya. Semua ini memang sungguh menyakitkan. Bahkan rasanya ia seperti menjadi seseorang yang paling tidak tahu tentang keadaan dunia sekarang. Meskipun tak bisa menerima semua ini, ia tetap harus menerimanya.

“Risadi? Kamu tidak apa-apa?”

“Vidya, bohong jika aku mengatakan, ini tidak menyakitkan bagiku. Tapi, apapun yang kau lakukan, aku akan selalu berdo’a untukmu. Kalau kau membutuhkan bantuanku, panggil saja aku. Vidya, kumohon jangan pernah menyingkirkanku dari kenanganmu tentang masa ini. Karena kemanapun aku pergi dan kemanapun kau pergi, kau akan selalu jadi wanita di hatiku.” Risadi berbalik kea rah A’am. “A’am….” Ditatapnya A’am dengan tajam. “Kau telah membohongiku. Bagaimana bisa aku memenangkan hati Vidya seperti yang telah kau katakana padaku. Tapi, bagaimanapun juga, kaulah pria yang telah dipilih Vidya. Dan Vidya tak mudah digoyahkan mengenai ini.”

Kemudian, Risadi berlalu. Ia melangkah menjauh. Diambilnya sepeda motor Gilang. Dan seketika motor itu telah melaju dijalanan.

“Risadi, carilah seorang gadis yang bisa menatapmu dengan cinta,” gumam Vidya.

Motor yang dikendarai Risadi terus melaju di jalanan, “ jadi, selama ini aku hanya bisa menatap gadis yang tak pernah menatapku dengan cinta,”

Meskipun ini semua sangat menyakitkan, Risadi tak pernah menyesali perasaan tulus yang hadir di hatinya yang hanya untuk Vidya. Dan rasanya ia tak kan pernah sanggup untuk membuang jauh perasaan itu dari hatinya. Bahkan ia tak mampiu untuk mengusirnya sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar