Sabtu, 12 Mei 2012

Aku takut kehilanganmu.

Aku takut kehilanganmu.

Kata-kata itu yang kuucapkan saat itu. Saat kau bertanya kenapa aku berbohong.

Kata-kata itu bukan alasan. Aku tidak tahu. Apakah memang itu yang kurasakan atau hanya itu kata-kata yang terbesit di benakku saat itu.

Ma’afkan aku. Tapi, belakangan aku sadar, bahwa aku memang tidak mau kehilanganmu.

Mungkin sekarang kau bahkan tidak mau mendengar namaku disebut di depanmu. Ya, kurasa kau semarah itu padaku. Aku melepaskanmu tanpa kau tahu sebabnya. Karena memang waktu itu semuanya baik-baik saja. Mungkin sekarang, percuma kau mengetahui hal ini. Karena itu, rasanya lebih baik kau tidak perlu tahu tentang hal ini sampai kapan pun.

Aku mengakui, itu memang salahku. Kesalahan terbesarku.

Kau tahu, betapa tersipunya aku saat pertama kali kau mengajakku bicara lewat pertanyaan sederhanamu. Dan senyum manismu kembali membuatku begitu tersipu. Selalu, saat kau menghadirkannya di depanku. Meskipun bukan kau tujukan untukku saja. Aku sudah menyukaimu sejak saat itu. Lalu, kau pun mulai menghadirkan harapan bagiku. Tepatnya saat kau menyodorkan secarik kertas padaku. Dan aku masih ingat, kau mencari bolpoint saat itu, lalu juga kau ajukan padaku.

“Nomormu!” Kau bilang begitu.

Aku tak mengerti. Mungkin tepatnya berpura tak mengerti. Dan kau memperjelasnya. Aku senang sekali. Dan harapan itu mulai muncul. Saat itu, pertama kalinya kau menyiramkan air pada tanaman bunga mawar merah yang kutanam sendiri. Terimakasih, Ka!

Saat kau menyebutku dengan sebutan ‘adink (adik)’, aku kembali merasakan rasa senang itu. Karena kau yang pertama menyebutku seperti itu.

Ma’afkan aku. Aku menyesal. Aku tak bermaksud menyakitimu.

Dalam selang waktu itu, aku pernah marah padamu. Karena ternyata kau sudah bersamanya. Dan aku baru mengetahuinya setelah cukup lama kita saling menyebut ‘kakak-adink’. Itu pun juga hanya lewat sms. Kita tak pernah saling bertemu di luar gedung RS (tempatmu bekerja) itu. Atau pun hanya berbicara lewat telepon. Ya, itu membuatku menyadarinya, bahwa kau hanya menganggapku sebagai adik. Aku kecewa saat itu. Dan cukup marah. Kenapa kau menghadirkan harapan itu? Kenapa aku begitu lugu sehingga salah mengartikan sikapmu?

Kau tidak tahu itu kan? Kau tidak pernah tahu, bagaimana perjuanganku meyakinkan diriku sendiri bahwa kau memang hanya menaggapku sebagai adik. Agar aku berhenti berharap padamu. Kau tidak pernah mengetahui ini. Sekarang ini, yang kau ingat tentang aku hanya aku yang melepaskanmu tanpa alasan, bahkan kau mungkin menganggapku mengkhianatimu.

Setelah sekitar satu tahun, aku mulai menikmati kau yang hadir sebagai kakak bagiku. Dan aku sudah ikhlas akan hal itu. Kita masih tetap seperti waktu itu, saling memberitahu dan bertanya kabar lewat sms. Hanya saja frekuensinya jauh berkurang.

Kemudian saat keadaan kembali mengharuskanku berada di gedung RS itu untuk kesekian kalinya. Kita kembali bertemu. Dan itu tidak masalah bagiku. Tidak menyakitkan atau menyenangkan bagiku karena bertemu denganmu kembali. Karena aku sudah bisa menerimamu sebagai kakak bagiku.

Aku tak heran, saat kau menjadi lebih sering menghubungiku dan mulai meneleponku juga. Aku tak berpikir melebihi bahwa kau adalah kakakku. Jadi, aku tak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Sungguh. Bahkan saat temanku mengatakan padaku bahwa kau menatapku dengan berbeda. Aku tak menghiraukan maksudnya.

“Ya, dia kan kakakku,” Kubilang begitu.

Saat itu aku baru tahu bahwa kau sudah tak bersamanya lagi selama sekitar dua bulan ini. Sekali lagi, ini bukan sesuatu bagiku. Bukan masalah lagi bagiku, kau bersama seseorang atau tidak.

Tak lama kemudian, bagaimana aku menceritakannya?

Kau bertanya padaku, “Apakah aku menyayangimu?”

Kujawab, “Tentu saja. Karena kau adalah kakakku.”

Dan kau mengulangi pertanyaanmu.

Jawabanku pun sama seperti semula.

Kau mendesah di ujung telepon sana.

“Kenapa?” Apa yang membuatmu mendesah seolah berat seperti itu?

“Bukan sebagai kakak, adink…..”

Sejenak aku terhenyak. Lebih tepatnya, aku cukup kaget. Entah apa yang kau katakan selanjutnya saat itu. Yang kudengar, kau menyadarkanku dengan panggilanmu.

“Iya,” jawabku.

“Adink mau gak jadi pacar kakak?”

Blank.

Blank.

Blank.

Kau mengucapkan itu? Bagaimana bisa? Kau, kakakku.

Dan aku….. ‘Kakak, aku telah bersamanya.’ Kata-kata itu hanya terucap dalam hatiku. Aku tidak mau kehilanganmu. Jika aku mengatakan yang sebenarnya saat itu, mungkin aku akan lebih cepat kehilanganmu. Mungkin kau akan segera menghilang dariku. Atau kau akan menerimanya dan tetap menjadi kakakku. Aku menginginkan kemungkinan terakhir. Tapi, aku cukup mengenalmu. Kurasa tentu kau akan mengambil sikap kedua hal yang pertama. Karena itu aku memutuskan untuk menerimamu. Lagi pula kupikir, aku akan bisa menyukaimu seperti dulu. Dan aku akan menyelesaikan hubunganku dengan dia, karena dari awal aku memang tidak ingin bersamanya. Dan akhir-akhir ini kami sudah mencapai klimaksnya. Tinggal penyelesaiannya saja.

Ma’afkan aku karena tak mengatakannya. Aku terus memikirkan hal itu. Aku tidak bisa berbohong. Untuk hal ini sekalipun. Lalu, bagaimana? Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya sekarang? Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah kau menjauh? Aku tidak menginginkan hal itu. Aku takut kehilanganmu.

Pada siang harinya, aku memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya. Kau begitu kaget. Aku tahu akan seperti ini. Dan aku menjelaskan semuanya. Aku juga mengatakan bahwa akan menyelesaikannya.

Dan kau mengakhiri pembicaraan kita saat itu dengan mengatakan, “Baiklah, adink selesaikan dulu dengannya. Jika sudah, kasih tau kakak, ya.”

Apa itu artinya kau masih memberiku kesempatan? “Ma’af, Kak!”

“Terimakasih untuk setengah hari ini ya, Dink!”

Aku merasa tidak baik. Aku merasa bukan orang baik. Entah apa yang kau pikirkan tentangku saat itu. Tapi, aku tidak menyesal telah mengatakan yang sebenarnya. Aku menyesal telah membohongimu.

Aku pikir, perlu waktu lama untuk menyelesaikanku dengannya. Lalu aku bersyukur, Karena saat itu keadaan menguntungkan bagiku. Ada hal yang membuatku bisa melepasnya. Agar mereka tak menyalahkanku. Sehingga mereka tahu bahwa dia lah yang salah selama ini. Bahwa aku lah yang diam selama ini. Tapi, yang kuterima selama dengannya malah sebaliknya. Selama dengannya justru aku yang dianggap salah. Dan aku yang disalahkan. Sekarang aku senang. Karena kebenaran telah mereka lihat sendiri. Hingga akhirnya mereka sendiri yang memintaku untuk berhenti bersamanya. Aku tak menyalahkan mereka. Karena mereka memang tidak tahu yang sebenarnya sebelumnya. Mereka justru sangat peduli padaku. Juga sangat perhatian. Aku bersyukur memiliki mereka di sisiku. Terimakasih untuk semuanya.

Kakak, bisakah kau mengerti tentang ini? Bisakah kau memahami posisiku saat itu? Kau memang tidak mengetahuinya, karena itu kau tak bisa memahaminya. Tapi, jika kau mengetahui keadaannya waktu itu, bisakah kau mengerti?

Sekitar satu minggu setelah hari di mana kau utarakan perasaanmu itu, aku memberanikan diri mencoba menemuimu. Meskipun aku merasa, di mana harga diriku saat itu jika aku yang datang menemuimu? Tapi, aku tidak mau ingkar. Aku telah berjanji untuk memberitahukan hal itu padamu setelah menyelesaikannya. Tak kuhiraukan diriku sebagai perempuan saat aku memutuskan untuk menemuimu. Ini pun aku baru berani setelah beberapa hari selesai dengannya. Meskipun aku memberanikan diri, tetap saja ada ragu dan rasa bersalah yang begitu besar di diriku.

Sekarang aku baru menyadari ternyata saat itu kau seberarti itu bagiku. Karena itu aku takut kehilanganmu. ternyata kata-kata itu bukan berarti hanya alasan bagiku. kata-kata yang keluar begitu saja dari mulutku, yang ternyata dari hatiku yang terdalam. bahkan aku sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Dan sekarang aku harus menerima bahwa aku telah kehilanganmu. Sampai kapan, aku masih belum bisa menerima hal itu. Tapi, itu kenyataannya. Aku telah kehilanganmu. Dan kau tak mungkin berpaling padaku lagi. Karena kau telah bersama yang lain setelah sekitar dua bulan kita berpisah.

Kita bertemu dan bicara. Kujelaskan tentang posisiku. Tapi, tak habis semua yang kau tahu dan mengerti.

“Aku takut kehilanganmu,” Jawabku saat kau bertanya, kenapa aku berbohong.

Kau juga bertanya, “Kenapa kau bisa menyelesaikan masalahmu itu dalam waktu yang sesingkat ini?”

Aku menjelaskannya. Tapi, tak semua. Karena kurasa terlalu rumit jika kukatakan semuanya. Aku tak mau dianggap menjelekkan mereka, jika kuceritakan semuanya. Karena itu, kuharap kau mengerti. Dan kuingin kau cukup mengerti dengan penjelasan singkatku itu.

“Lalu, bagaimana?” Tanyamu setelah penjelasanku selesai.

“Apa?” Tanyaku. Sungguh, aku tak mengerti pertanyaanmu.

Saat itu kau menatapku dengan serius. “Mau gak, adink dengan kakak lagi setelah satu hari dulu?” Kau menegaskan.

Hah? Aku suka pernyataanmu. Aku senang mendengarnya lagi. Itu artinya kau memang benar-benar ingin bersamaku. Tapi, sadarkah kau telah menggunakan kalimat itu? Yang artinya kau menyesal saat memintaku untuk pertama kalinya waktu itu. Karena aku telah dengan orang lain. Tapi, aku begitu ingin bersamamu. Aku tidak mau kau jauh dariku. Aku tak peduli, kau yang menyesal karena hal itu. Rasa egoisku muncul. Aku ingin bersamamu. Dan aku pun mengiyakan pertanyaanmu itu.

Saat kujalani hariku bersamamu, kenapa terasa begitu hambar? Kau sangat baik dan perhatian padaku. Tapi, aku seolah tak memerlukannya. Kenapa? Saat kurenungi semua. Kuputar balik ingatan. Dan aku menemukan alasannya. Aku sudah sangat nyaman dengan kau yang sebagai kakak di sisiku. Atau rasa marahku yang dulu masih memenjarakanku dalam rasa dendam. Kakak ingat, kakak telah bersama dengan orang lain saat sikapmu membuatku berharap padamu. Bagaimana ini? Aku kembali berada di persimpangan.

Kau bahkan pernah marah padaku karena aku tak menghubungimu dari pagi hingga malam. Dan malamnya kau menegurku. Aku juga hanya satu kali bersedia jalan denganmu. Itupun hanya ke tempat temanmu dan sebentar saja. Selain itu, aku juga sering tak bisa saat kau meminta untuk sekedar makan bareng atau mengunjungimu di gedung itu. Untuk kau tahu, aku sering tak bisa bersamamu bukan sepenuhnya karena aku tak mau menemuimu. Aku tak bisa membagi waktuku denganmu saat itu. Kau tahu, karena saat itu aku harus menyelesaikan target-target kuliahku yang berceceran dan hampir tertinggal. Dan kau mengerti. Kau tahu, saat itu aku juga tak bisa menyebutmu, ‘sayang’. Apa kau menyadari hal itu? Aku tak bisa membalas panggilanmu. Karena saat itu aku memang tidak menyayangi selain sebagai kakak. Yang kusadari sekarang, aku hanya belum bisa menyayangimu saat itu.

Oh… betapa mengertinya dirimu. Seharusnya aku sangat bersyukur bisa bersamamu. Ma’afkan aku. Sebenarnya saat itu aku memang juga menjaga jarak denganmu. Selain karena hal-hal itu, juga karena aku tak ingin disakiti seperti waktu itu lagi. Bukan kau. Tapi, orang itu.

Kau tetap sangat baik padaku. Sangat perhatian. Sangat mengerti. Tapi, mungkin kau belum bisa memahamiku.
Aku mulai tidak nyaman dengan keadaan yang seperti itu. Ma’af, aku kasihan padamu. Aku tak ingin menyakitimu. Tapi, sepertinya sikapku seperti itu yang telah menyakitimu. Aku menyadarinya. Lalu, perlahan rasa itu kembali muncul. Aku mulai melihatmu bukan sebagai kakak. Aku mulai menyukaimu lagi seperti waktu itu. Setiap saat perasaan itu semakin menyukaimu. Dan setiap itu juga aku semakin merasa bersalah padamu. Aku merasa telah menyakitimu dengan sikapku. Aku merasa menyiakanmu dengan jarang meluangkan waktuu bersamamu. Aku merasa menjadi orang jahat. Aku merasa begitu bersalah. Hingga akhirnya aku merasa tidak berhak bersamamu. Ma’afkan aku. Sungguh. Aku mohon, ma’afkan aku.

Dan aku baru menyadarinya, bahwa keputusanku itulah yang telah menyakitimu. Sebenarnya jika aku masih bertahan denganmu, aku masih bisa memperbaiki sikapku padamu. Iya, kan? Tapi, saat itu aku tergesa mengambil keputusan. Aku tak memikirkan hal lain selain, aku ingin kakak bersama dengan orang yang benar-benar menyayangi kakak dan bisa membuat kakak bahagia. Aku menyayangimu, tapi sebelumnya tak benar-benar menyayangimu. Dan aku tidak bisa membuat kau bahagia.

Yang kusadari sekarang, saat itu aku hanya belum bisa membuatmu bahagia, bukan tidak. Kusadari, aku juga bisa membuatmu bahagia jika tetap bersamamu dan lebih memahami, juga sangat menyayangimu dan memelihara perasaanmu. Tapi, itu sudah terlambat. Karena aku baru menyadarinya setelah kulihat kau bersamanya. Kalian tersenyum bahagia. Dan air mataku menetes melihatmu bersamanya. Harusnya aku yang bersamamu! Bukan dia! Tapi, aku sendiri yang telah membuang kesempatan itu waktu itu. Karena aku terpengaruh pikiran-pikiran buruk tentang bersamamu. Ma’afkan aku.

Akhirnya aku mengatakan hal itu juga. Bahkan hanya lewat telepon. Ma’afkan aku. Kuakui saat itu aku dikuasai oleh pikiran egoisku sejenak. Dan kau menanyakan alasannya. Aku tidak memberitahumu. Karena aku tidak tahu harus mulai menceritakannya dari mana. Aku hanya bisa diam tanpa jawaban. Saat itu, aku tak ingin kau mengenangku sebagai seorang yang baik. Karena kuingin kau tak begitu sedih karena perpisahan itu. dan kuharap kau segera menemukan seseorang itu. Dan keinginanku itu terkabul, bukan? Karena mungkin sekarang kau mencapku sebagai seorang pelarian. Dan kau juga tak perlu waktu lama menemukan seseorang itu. Hanya perlu waktu kurang dari dua bulan kau telah bersamanya. Aku bersyukur saat itu. Harapanku masih sama, semoga kau bahagia bersama pilihanmu yang lain itu.

Sekarang tinggal aku yang masih begitu mengingat semua tentangmu. Bilapun ada yang tertinggal, itu hanya sebagian kecil saja. Sekarang sudah hampir dari satu tahun setelah kita berpisah, dan aku masih mengingatmu. Kau yang sangat baik padaku. Kau yang sabar menghadapiku. Kau yang kecewa karena aku. Tapi, aku tahu, rasanya sangat tidak mungkin kita kembali bersama. Sekarang pun aku sudah bisa membuka hatiku untuk orang lain.

Bisakah kau memahamiku setelah kau mengetahui hal ini? Itu pun kalau kau bisa menemukan tulisan ini. Yang kemungkinannya rasanya sangat kecil kau dapat menemukannya. Lewat kalimat-kalimat ini, aku ingin kau mema’afkan aku. Aku ingin kau tahu bagaimana perseteruan yang terjadi di benakku, betapa dilemanya aku. Dan satu hal keinginanku dulu yang ingin kuperbaiki. Aku tak ingin kau mengingatku sebagai seorang yang tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar