Sabtu, 12 Mei 2012

INGIN KUHAPUS NAMANYA

Aku memandangi sebidang tanah yang senyap. Tampak dari mata, tempat itu begitu tenang. Dengan pohon bunga kenanga di setiao gundukan yang ada. Pembaringan yang senantiasa ditemani semilir lembutnya angin. Hatiku gundah, terus atau berbalikk…. Rasanya aku tak sanggup. Tapi, aku begitu ingin menemuinya. Walaupun hanya sekedar untuk menyapanya. Andai kesempatan itu menghampiriku.

Akhirnya…. Terasa ringan kakiku melangkah. Dengan mata berat yang berusaha menahan bulir-bulir beningnya, aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya.

Aku melangkah menginjak rumput-rumput pendek yang terawat. Berkali-kali aku mencoba menenangkan diri. Perlahan kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan semantapnya. Aku akan menemuinya, meskipun hanya begitu semu.

Langkahku terhenti di sebuah gundukan. Gundukan tanah merah yang sudah ditumbuhi rerumputan. Gundukan ini begitu berbeda dengan gundukan lainnya. Di samping gundukan ini__ tumbuh sebatang bunga mawar. Mawar merah yang begitu menawan. Tampak masih begitu segar dengan kelopaknya yang berseri. Sebuah gundukan yang memang disediakan untukku dan orang-orang yang sedang mengalami masa-masa sepertiku saat ini atau setidaknya, menyerupainya.

Kucolek tanah merah di atas gundukan itu. Lalu di nisannya, kutorehkan sebuah nama yang begitu kukenang. Kembali kuhirup nafas dengan perlahan, lalu kuhembuskan. Kutarik seulas senyum di bibirku. Sejenak__ kumenerawang jauh ke masa silam.

Dan kumulai bicara….

“Hai, apa kabar?” selalu kalimat ini yang ingin kuucapkan pertama kali padanya. Kalimat yang kutahu takkan tersampaikan__ entah sampai kapan. Hingga aku bisa bertemu dengannya.

“Aku seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi. Ya__ meski aku agak sedikit takut. Entahlah___ mungkin kamu akan menertawakanku kalo kamu tau tentang ini. Dan dunia pun sudah tentu akan menertawakanku, bahkan mungkin akan mencelaku. Sebab perasaan yang sampai saat ini masih terpupuk asri di hatiku. Setelah sekian lama__ bahkan ketika tak saling bertemu lagi. Waktu yang sangat lama.”

“Sudah kucoba untuk melupakanmu. Atau setidaknya hanya menganggap kau sebagai kenangan terindah yang tak mkungkin terulang. Ini pun tak mampu kulakukan. Ma’afkan aku…. Aku tau ini ini salah. Tapi, aku harus bagaimana lagi? Aku selalu mencoba__ kemaren__ sekarang__ dan seterusnya. Aku akan terus mencoba untuk melupakanmu.

“Setiap aku merasa sudah mampu, bayangan tentangmu kembali menghampiriku. Bahkan aku selalu diterbangkan oleh sebuah harapan. Harapan tentag sebuah kesempatan. Kesempatan akan bertemu denganmu kembali. Padahal aku tau, hal itu merupakan satu perbanding setrilyun dari kenyataan yang ada. Jarak diantara kita begitu jauh. Belum lagi jarak diantara hati kita. Entah dengan menggunakan alat pengukur apa baru bisa terukur. Dan kemungkinan terbesarnya adalah tidak bisa bertemu denganmu lagi.”

“Semakin aku mencoba menghilangkanmu dari benakku, semakin harapan itu mengelilingiku. Harapan yang aku pesimis tentangnya__ mungkin takkan menjadi nyata.”

“Aku tak minta apa-apa. Cukup__ dapat melupakanmu__ adalah hadiah terindah bagiku. Bukan karena aku membencimu. Terlebih karena aku sangat merindukanmu. Dan__ bohong jika kubilang bahwa perasaan yang seperti ini bukanlah suatu beban. Entahlah…. Tapi, kadang__ aku sangat merasa nyaman dengannya. Entah mengapa.”

“Memang__ kadang ada rasa takut jika memikirkan akan kehilangan perasaan yang seperti ini. Rasa yang sedang merindukanmu. Dan aku harus kembali ke dunia nyata. Jalan yang terbentang di depankulah yang patut kufikirkan. Meski__ kadang harapan itu muncul menjadi kabut ungu yang menghalangi pandangan jalan di depanku. Dan saat aku menengok ke belakang__ justru bayangan tentangmu yang dengan bangganya merongrong. Setelah itu aku hanya bisa menunduk, tak kuasa melawan gelombang yang mengombang-ambingkanku itu.”

“Dan aku akn terus mencoba menghilangkanmu, hingga tak berbekas. Dukung aku, ya!”

Kuhapus nama di nisan ini. Aku berdiri. Sebelum aku tinggalkan tempat ini, sekali lagi kupandangi gundukan tanah merah berumput dan bernisan tanpa nama ini. Lalu aku melangkah dengan tekad yang utuh. Aku harus melupakannya!

Semilir angin dan mawar merah membawa aroma kenangan. Dan menjadikannya sebagai aroma wangi yang begitu istimewa.

Aku tak menganggapnya telah meninggal. Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa dia bukanlah seseorang yang terbaik itu, bukan seseorang yang diciptakan untuku. Dan ingin kuyakinkan diriku sendiri untuk tidak merindukan seseorang yang bahkan tak kuketahui apapun tentangnya saat ini. Yakin, bahwa aku bisa melupakannya__ menjadi bulir-bulir semangatku. Dia adalah kenangan terindah untukku.

Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar