Sabtu, 12 Mei 2012

my first love

Selamat datang pagi!

Matahari bersinar hangat dengan lembut. Dedaunan pun masih dibasahi oleh embun. Kicauan burung-burung yang bertengger di pepohonan terdengar merdu. Pagi yang cerah. Semoga ini pertanda sebagai hari yang indah.

Di sekolah, anak-anak mulai berdatangan. Masih cukup sunyi. Saat jam menunjukkan pukul 8, lonceng tanda masuk kelas pun berbunyi. Suasana ribut mula tercipta. Seluruh anak berlarian ke kelas masing-masing. Mereka berebut masuk ke dalam kelas.

Tapi, setelah 10 menit berlalu di kelasku, Bu Diana belum masuk juga. Dan teman-teman masih ribut mengobrol. Mungkin sekarang lagi jam kosong. Bagus deh. Itu artinya, pagi ini kami bebas tanpa guru dan tanpa belajar. Saat yang selalu ditunggu-tunggu. Pasti akan sangat menyenangkan.

oo… ternyata gak. Bukanya Bu Diana yang masuk kelas kami, melainkan Pak Kepala Sekolah. Selain itu juga ada BU Indah, wali kelas kami dan seorang anak cowok. Sebelumnya aku gak pernah melihat anak cowok itu. Anak yang tampan, manis, kulitnya juga putih, sayangnya badannya tidak lebih tinggi dari badanku. Mungkinkah dia teman baru kami?

Aku dan semua anak di kelas ini pun bergegas kembali ke kursi masing-masing. Lalu duduk dengan tenang.

Sebentar Pak Kepala sekolah berpidato. Dia mengatakan anak cowok itu memang teman baru kami, ssiwa pindahan dari kota Yogyakarta. Dia pindah karena mengikuti ayahnya yang kerjanya dimutasi ke kota handai tolanku ini.

Bu Indah menyuruh anak cowok itu untuk memperkenalkan dirinya.

Kuperhatikan anak cowok itu. Matanya mengitari seluruh ruang kelas dengan tajam dan agak usil. Sejenak mata kami bertemu. Mata yang teduh. Mata yang bisa membuatmu merasa begitu nyaman mesipun hanya dengan melihatnya.

Tiba-tiba dia tersenyum dan sungguh ini membuatku terkejut. Aku jadi salah tingkah. Segera kutundukkan kepalaku.

“Nak, perkenalkan dirimu!” Bu Indah menyuruh anak itu sekali lagi.

Sebentar, kucoba melihat ke arah anak itu lagi, tapi rasanya tatapannya terus tertuju padaku.

“Kamu kenapa?” tanya Ainah, teman sebangkuku.

“Apa?” apakah sikapku barusan begitu terlihat? “Gak apa-apa.”

“Syukurlah.”

Ainah, dia teman terdekatku di sekolah ini. Anaknya baik dan cantik, juga begitu lembut. Dan tentu saja itu sangat jauh berbeda denganku.

“Namaku Adithya Yudistira,” dia mulai memperkeanlkan diri. “Kalian bisa memanggilku Adith.”

Kemudian BuIndah menyuruh anak cowok itu duduk di kursi kosong yang ada di bagian anak cowok. Adith pun menutut. Ia berjalan kea rah itu sambil memandang kea rah sini. Dan lagi-lagi anak itu tersenyum.

Apa dia sedang tersenyum padaku? Ah, rasanya tidak mungkin. Di sampingku ka nada Ainah yang jauh lebih enak dilihat daripada aku.

Setelah Adith duduk, Bu Indah Pak Kepala Sekolah berpamitan. Keduanya pun keluar dari kelas kami..

Sepeninggal kedua guru itu, teman-teman iingin segera berkenalan denga Adith, tapi segera mereka urungkan niat itu saat Bu Diana memasuki kelas. Dan dimulailah pelajaran Matematika pagi ini.

Seperti janjiku dengan Ainah, sepulang sekolah kami mengayuh sepeda masing-masing menuju kolong heningku. Jaraknya dengan sekolah hanya lima belas menit denga bersepeda santai.

Yang kusebut kolong heningku itu hanyalah sebatang pohon rambutan yang rindang yang terletak di pinggir sawah. Biasanya aku duduk di bawahnya sambil menikmati indahnya pemandangan alam yang telah dianugerahkan-Nya, hamparan sawah yang membentang luas. Dan setiap sore aku sering ke sini. Tempat ini kutemukan sebulan yang lalu, ketika aku sedang bersepeda santai. Bagiku tempat ini sangat istimewa. Di sini kutemukan ketenangan, tentunya selain di kamarku sendiri.

“Indahnya! Sejuk lagi!” seru Ainah dengan senang. Aku suka kolong heningmu ini. Kenapa baru sekarang kamu kasih tau aku? Kita kan bisa bersepeda bareng ke sini.”

Kujawab dengan tersenyum kecil. Aku senang Ainah juga menyukai kolong heningku ini.

*****
Sebulan telah berlalu sejak hari pertama Adith di sekolahku.dia dapat menyesuaikan diri dengan baik. Adith bisa berteman dengan semuanya. Dan karena keramahannya itu juga teman-teman menyukainya. Dia juga bukan anak yang bandel, jadi tak ada masalah dengan guru.

Hanya saja aku merasa sepertinya aku telah menjadi seperti bukan diriku yang sebenarnya. Setiap kali melihatnay dari jauh aku sering tersenyum sendiri. Dan saat berdekatan dengannya meskipun agak salah tingkah aku tetap berusaha sebiasa mungkin.

Tapi, sekarang lagi ada gossip hangat yang beredar diantara kami. Adith suka sama Ainah! Karena saat sedang bersama keduanya memang tampak sangat nyaman satu sama lain. mereka sering ngobrol barenga sambil tertawa. Tidak pernah kulihat Ainah seakrab itu dengan anak cowok. Fuih… lagi pula keduanya tidak pernah ambil pusing tentang gosip itu. Memang, Ainah pernah bilang padaku kalo dia dan Adith hanya berteman. Dan katanya lagi, kalo mereka berdua gak mungkin pacaran. Kenapa Ainah bicara seperti itu padakku? Bukankah tidak ada kaitannya denganku juga kalo mereka pacaran. Meskipun aku merasa sangat tidak nyaman dengan gossip itu. Rasanay aku seperti bom yang siap meledak setiap kali kuingat tentang gosip itu. Apalagi saat kulihat mereka berdua begitu dekat.

Hari itu sepulang sekolah, aku menyempatkan diri pergi ke kolong heningku. Aku duduk di bawah pohon rambutan itu sambil melemparkan batu-batu kecil. Dan kuharap aku dapat melemparkan segala keresahan hatiku juga. Tapi rasanya kali ini permadani hijau di depanku ini juga tidak bisa menenangkanku.

Dug! Tiba-tiba satu rambutan jatuh di depanku. Dengan kaget, aku langsung menengadah ke atas pohon.

“Wah, yang itu gede banget!” Seorang anak cowok sedang asyik bertengger di atas sana sambil mencoba menggapai satu rambutan yang cukup besar.

Aku berdiri dengan berkacak pinggang. “Hei, kamu? Ngapain di situ? Ngeganggu aja!” teriakku.

“Gak lihat, aku lagi makan rambutan. Ngeganggu apa? Ini kan tempat umum. Siapa saja boleh ke sini. Kalo mau gak diganggu pergi san ke gua. Atau ke kuburan sekalian, tapi pas malam jum’at, pasti tambah sepi banget,” tukas cowok itu.

Ihh… nyebelin banget sih. “Turun kamu! Seenaknya makan rambutan orang.”

Anak cowok itu turun setelah dapat dipetiknya rambutan yang sedang ingi digapainya itu.

Dan sekarang dia ada di hadapanku.

“Ka… kamu?” aku tergagap dengan jantung dag, dig, dug. Mana bisa aku memaki orang ini tadi.

“Emangnya ini rambutan ayahmu?” bisiknya di telingaku

Aku masih terkaku kaget. Sedangkan dia langsung duduk dengan santai sambil memakan rambutannya.

“Gak mau duduk? Jangan mandangin aku kayak gitu donk! Aku kan Adith bukan hantu.”

Uhh… kamu memang hantu yang selalu menggangguku dengan hadir di tiap malam di mimpiku.

Aku pun duduk di sampingnya. Udah bikin orang kaget malah cuek seenaknya.

“Ainah bilang kamu sering ke sini,” ujar Adith. “ kolong hening…. Cocok sekali banget dengan suasananya. Aku suka.”

“Oh…” Gak heran Ainah cerita tentang kolong hening ini pada Adith. Mereka kan memang dekat. Atau mungkin mereka pernah jalan berdua ke sini.

Adith merogoh sesuatu di dalam tas sekolahnya.

“Kalian janjian mau ketemu di sini, ya?” tanyaku.

Tapi gqak ada jawaban. Adith hanay menyodorkan sebuah kotak pink kecil yang berpita hijau ke depanku. Manis sekali. Aku mengerutkan kening dengan keheranan.

“Ini!” disodorkannya kotak itu padaku. “Lihatlah!”m pinta Adith sambil menatapku dengan tulus. Kali initatapan itu tak disertai dengan tatapan usil.

Sejenak aku kembali terhenyak, namun tak urung kuterima juga kotak itu. Dengan sangat hati-hati, kubuka kotak itu. Ada sepasang kalung dan gelang di dalamnya. Rantai gelang itu berbentuk daun yang berwarna hiaju. Di tengahnya ada amor pink yang memisahkan kata first dan love. Sedangkan kalung itu adalah kalung biasda dengan liontinnya yang juga berbentuk daun.

“Cantik banget! Ainah pasti suka ini.” seruku.

Sekilas kutatap Adith. Cowok itu tak bereaksi. Matanya hanya tertuju ke sawah dengan raut wajah kecewa. Seperti ada yang mengganggu pikirannya. Kenapa? Apa dia sudah mencoba memberikan ini pada Ainah dan Ainah menolaknya? Atau ada masalah lain.

Lama kami hanya saling diam.

“Pasangkan kalungnya ke leherku, ya!”

Kata-kata Adith mengagetkanku. Heran, nih anak koq seneng banget bikin orang kaget, ya? Kenapa dia memintaku untuk memasangkan kalung ini ke lehernya. Bukankah lebih nyaman kalo orang yang disukainya yang memasangkan ini untuknya. Andai saja gadis itu aku.

Aku mengangguk dan melingkarkan kalung itu ke lehernya. Setelah kalung itu terpasang dilehernya, kemudain Adith mengambil gelangnya dan memegang tanganku. Tak perlu banyak waktu, gelang itu pun sekarang sudah ada di pergelangan tangan kananku. Dan Adith terus meamndangi gelang itu.

Kenapa bisa jadi begini? Mana boleh aku memakai gelang yang sebenarnay adalah untuk sahabatku sendiri. Meskipun aku senang meamkainya seandainya itu memang untukku. Aku sedih. Kenapa Adith harus melakukan ini padaku? Tak apa, dia tak menyukaiku, tapi jangan seperti orang yang seolah sedang memberi harapan begini. Apa dia tau, kalo sejak tadi debaran jantungku tak dapat kuperlambat. Ainah, ma’afkan aku!

Aku harus melakukan ini. Aku berusaha melepas gelang itu. Aku tak ingin berlama-lama memakai barang yang sebenarnya bukan untukku ini.

“Jangan!! Kumohon!” cegah Adith. Gelang dan kalung ini hanya ada satu-satunya di dunia.”

“Tapi, Ainah.”

“Ainah? Ada apa dengan Ainah? Apa kamu juga berpikiran kalo kami benar-benar pacaran? Hah! Yang benar saja?”

Kalo belum pacaran….”

“Siapa bilang kami akan pacaran? Bukannya Ainah sudah pernah bilang padamu kalo kami hanya teman dan gak mungkin pacaran?”

“Pernah. Tapi siapa yang tahu dalamnya hati kalian berdua.” Kupandangi gelang ini. “dan gelang ini pasti untuknya kan?”

“Risty, apa kamu segitu polosnya? Mana ada cowok bodoh yang mau ngasih hadiah khusus seperti ini ke orang yang bukan siapa-siapa di hatinya!” Adith menatapku dengan mata usilnya.

Apa sih yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Adith ini?

Adith diam dan hanya terus menatapku.

Tatapan itu tampak begitu tulus, dan tampak tajam juga. Kenapa? Apa kau sudah melakukan kesalahan padanya.

“Ya, kamu salah!”

Koq dia bisa jawab pertanyaan dari dalam hatiku itu.

“Kamu salah karena membiarkanku harus mengatakan ini secara langsung padamu.”

“Apa?”

“Aku menyukaimu. Dan jangan pernah membiarkanku merasakan perasaan ini seorang diri.”

Hah? Sekali lagi aku terhenyak kaget. Tapi, kali ini rasanya berbeda dengan yang tadi.

“Lalu Ainah?”

“Huuh! Ainah lagi, Risty, Ainah temanmu. Dari mana aku tau tentangmu kalo bukan dari teman terdekatmu!” Jelas Adith. “Sudahlah. Sekarang bagaimana?”

“Bagaimana apa?” seenaknya dia berteriak di depanku seperti itu. Jadi, karena ini mereka kelihatan sering ngobrol? Akhirnya aku mendapatkan jawabannya dari semua kecemasanku selama ini.

“Risty!” Adith menggenggam kedua tanganku. “Kamu akan menerima gelang ini kan? Sebagai tanda kamu juga menyukaiku?”

“Kenapa menanyakan itu lagi? Bukankah sudah tau jawabannya dari Ainah.”

“Apa?”

Kena kau. Kali ini kamu yang akan kubuat bingung. Adith… kamu pasti juga sudah tau jawabannya kan.

“Risty, jangan membuatku gantung seperti ini donk!” dihempaskannya tanganku dan dia membuang wajah juga.

Aku tersenyum melihat tingkahnya ini. Apakah seperti ini wajah Adith yang sedang marah dan hamper putus asa? Lucu sekali.

Aku berpindah ke depannya agar bisa kembali berhadapan dengannya. Tapi, dialihkannya pandangannya.

“Adith, kamu tau, aku selalu gelisah saat melihat atau hanya mengingat kedekatanmu dengan Ainah. Apa itu tidak cukup menjawab pertanyaanmu?”

Seketika Adith menatapku kembali dan wajahnya memancarakan kebahagiaan. Dia tersenyum padaku.

Aku pun tersenyum bahagia.

Terimakasih, Ainah.

*****
Aku termenung duduk di kursiku. Aku masih ingat saat pertama kali Adith memasuki kelasku, tepatnya setahun yang lalu. Dan setelah Adith ngaasih gelang itu ke aku, hubungan kami pun tak pernah ada masalah. Tapi, sudah dua hari ini Adith gak nmasuk ke sekolah, ke kolong hening juga tidak. Juga tidak kasih tau ke aku apa yang sedang terjadi?

Tiba-tiba Ainah ada dihadapanku dengan nafas tak beraturan. Aku heran melihatnay seperti ini.

“Adith___ Adith___ pindah___ sekolah,” katanya.

“Apa? mana mungkin? Dia bahkan tidak bicara apapun padaku.”

Dan tanpa kusadari, air mata menetes di pipiku.

Ainah duduk di sampingku sambil merangkulku. Dia pasti juga bisa merasakan bagaimana kesedihanku.

*****
Senangnya!

Hari ini hari pertama masuk SMU. Pasti menyenangkan. Karena bisa ada di tempat yang baru, teman-teman baru, dan suasana yang baru. Karena sekarang aku sudah SMA! Meskipun hari ini juga hari pertama sebelum MOS besok. Tapi, gak apa.

Lima tahun telah berallu. Kenangan itu masih terbesit di benakku. Aku masih ingant saat kami satu kelas,
semuanya main petak umpat.

Saat temanku yang giliran jaga sudah menutup matanya, teman-temanku yang lain langsung beresembunyi menyebar hingga ke setiap sudut kelas. Karena gak boleh sampai ada yang bersembunyi keluar kelas. Dan karena gerakku yang kurang cepat, aku jadi bingung mau sembunyi di mana lagi. Semua tempat yang kupikir cocok sebagai tempat bersembunyi, sudah diisi oleh temanku yang lain.

Lalu, tiba-tiba Adith menarik tanganku.

“Ke sini,” bisiknya.

Aku pun mengikuti langkahnya yang menuju lemari temple di dinding kelas ini. Adith pun membuka pintunya.

“Kita sembunyi di sini!” bisiknya lagi.

Apa? Adith menyuruhku bersembunyi di rak kedua dari bawah. Dan dia dirak plaing bawah. Aku pun mengiyakan da rebahan di rak lemari itu. Pintu lemari langsung ditutupnya setelah ia rebahan di rak paling bawah itu.

Suara-suara teman-teman dari luar dapat terdengar. Satu-persatu mereka dapat ditemukan oleh temanku yang jaga.

Sebenarnya aku agak takut karena di dalam lemari ini gelap banget.

“Adith!” Aku jadi cemas karena tidak mendengar suaranya.

“Tenang saja! Jangan takut! Kan ada aku!”

So sweet. Dan dalam seketika aku jadi jauh lebih tenang.

Saat diluar kudengar teman-teman ribut mencari kami berdua, aku jadi berpikir, mungkinkah hanya kami yang belum bisa ditemukan?

“Adith, sepertinya cuma kita yang belum ditemukan. Apa kita bisa keluar sekarang?”

“Sssttt… biarin mereka yang nemuin kita!”

Lalu tiba-tiba pintu lemari dibuka dari luar.

Oo… seluruh teman sekelasku ada di luar sana, memandangi kami dengan keheranan.

Setealh hilang keteerkejutan kami dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Adith segera keluar dari lemari. Lalu, ia membantuku untuk keluar juga.

Waktu itu aku sangat malu dengan teman-teman yang melihat kami. Tapi, untungnya Adith bersamaku. Jadi dai bisa menjelaskannya.

Tapi, sejak hari itu, aku gak pernah lagi melihat Adith di sekolah atau di manapun. Itulah terakhir kalinya kami bertemu.

Aku sangat kecewa padanya. Bisa-bisanya dia meninggalkanku pindah sekolah tanpa kabar sedikitpun. Waktu itu___ apa benar dia menyukai?

Meskipun begitu, aku tak pernah mampu membuang satu-satunya barang kenangan diantara kami.

Dan hari ini, aku tetap memakainya. Bagaimanapun jnuga aku gak akan pernah bisa melupakannya. Meskipun orang bilang ini hanya cinta monyet. Tapi, bagiku ini lebih dari itu. Adith, dia adalah cinta pertamaku.

Setibanya di SMU favorit di kotaku ini yang kupilih sebagai SMUku, sudah cukup ramai.

Bukk!!!

Tanpa sengaja, aku menabrak seseorang. Dan aku pun langsung ambruk ke lantai.

Seketika sebuah tanagn terulur di depanku. Aku menyambutnya. Lumayan untuk membantuku berdiri.

“Ma’af, ya!” ujar cowok itu.

Oh, rupanya dia yang barusan bertabrakan denanku dan dia juga yang telah menolongku. Sikap yang cukup manis.

“Gak apa-apa. Aku yang salah. Jalan kurang hati-hati.

Dia tersenyum.

Kalau dilihat lagi, wajahnay tampan juga. Wajah tirus dengan hidung mancung dan mata yang sendu, juga hitam amnis.badannya juga tinggi dan tampak atletis.

Oops… bisa-bisanya aku mikirin cowok lain sedangkan Adith ada di sini. Kupegangi tangan kananku.

“Tanganmu sakit?” cowok itu tampak panik dan ikut memegangi tangan kananku.

“Hah?” aku jadi salah tingkah karenanya. Apalagi jarak wajahku dan wajahnya jadi sangat dekat.

“Hai Daniel! Ngapain loe? Gebetan baru, ya?” goda seorang cowok berkulit putih.

Dan di samping cowok itu ada cewek canti berambut panjang yang bergelayut di lengannya.

Cowok hitam manis ini tersenyum. Mungkin mereka teman.

Sejenak aku terhenyak. Dan detak jantungku hamper saja berhenti.aku melihat benda yang sangat kukenal. Dan dia bilang, benda itu hanya ada satu-satunya di dunia ini. Kalung dengan liontin daunnya.

Segera kupindahkan tatapan ke wajah pemilik kalung itu. Benar. Mata yang begitu teduh. Mata yang hanya dengan melihatnya saja sudah membuatmu merasa ada di tempat yang begitu nyaman. Dan aku juga merasa sangat nayman saat bersamanya.

Dan kurasakan mata itu juga sedang melihat kea rah tangan kananku. Sama sepertiku, mata itu juga tampak kaget.

Adith!

Nafasku menjadi cepat tidak beraturan. Rasanya sesak sekali. Bukannya senang bisa bertemu denannya lagi, aku malah merasakan hal yang sebvaliknya. Aku sedih. Bagaimana tidak? Sekarang di sisi Adith sudah ada gadis lain. apa benar, hubungan kami dulu hanya cinta monyet baginya? Adith, cowok yang selama ini kurindu….

Adith menyebalkan!

Aku berlari. Aku sangat tidak nyaman dan rasanay sakit sekali melihat orang yang selama ini dinanti telah bersama dengan orang lain.

Aku menghentikan langkahku dan duduk di sebuah bangku panjang di halaman belakang sekolah. Dan air mataku menjadi tidak terrhankan. Mereka keluar dengan deras dari sudut mataku.

Lalu, sebuah tangan yang berisi sapu tangan terulur di depanku. Dengan ragu, kuambil sapu tangan itu.. kugunakan untuk menghapus air mataku.

Dan orang itu pun duduk di sampingku.

“Kamu menangis?” Tanya orang itu.

Aku menoleh kea rah suara itu. Daniel.

“Gak pa-pa,” jawabku, mncoba setenang mungkin.

“Aku tau,” cowok itu tersenyum sambil memandangi gelangku. “Kamu pasti Risty. Adith sering cerita tentang kamu.”

“Hah?” aku memandanginya dengan kaget.

“Itu!” Daniel menunjuk gelangku. “Sepasang gelang dan kalung itu. Saat itu aku menemani Adith mengantarkan desainnya ke pengrajinnya. Kamu ingat? Waktu itu, aku juga ikut pindah ke sekolahmu. Aku sepupu Adith.”

Oh ya?

Jadi, Adith sendiri yang mendesain sepasang gelang dan kalung ini? Aaaa…. Sekarang itu sudah tidak penting lagi. Ternyata Adith tidak begitu menyukaiku. Buktinya dia bisa melupakanku hanya dalam waktu lima tahun.

Hiks… hiks… Hiks… aku kembali menangis.

Daniel mencoba menenangkanku dengan menepuk-nepuk pundakku. Dan berucap, “Sssttt…. Jangan nangis lagi, ya!”

Gak bisa. Aku sudah terlanjur sedih karena kekecewaanku pada Adith.

*****
“Risty, apa benar kamu tidak bisa melihatku?” seseorang bergumam di balik persembunyiannya yang bisa melihat Risty dan mendengar perbincangannya dengan Daniel. “Aku masih memakai kalung ini. Seharusnya tak perlu kamu meragukanku.”

Dia pun melangkah menjauh. “Dasar, Vita! Terus saja mengejarku. Bahkan sampai ikut sekolah di SMA yang sama dengan pilihanku. Dari mana dia tau aku memilih SMA ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar