Jumat, 21 Desember 2012

polisi tidur

Saat mau pindahan kantor, anak-anak (para karyawan) pada ngebahas tentang cara bawa komputer-komputer. soalnya di jalan yang mau dilewati banyak polisi tidurnya, meskipun pake mobil tetep aja terguncang kan.
“Gimana ya kita bawa komputernya, soalnya banyak polisi tidurnya?”
“Iya,” Jawab yang lainnya.
Satu anak dengan polosnya tanya. “Emangnya gak boleh lewat ya kalo ada polisi yang lagi tidur?”
???
Semuanya pada melongo.

Selasa, 19 Juni 2012

Dia bagiku.....

Aku menyayanginya.
Aku mencintainya.
Aku tidak mau kehilangannya.
Tanpa sadar aku telah menghadirkan diriku yang sesungguhnya di depannya.
Aku tak bisa menjadi baik dengannya.
Aku ingin bersamanya, selalu.
Aku tak bisa jauh darinya.
Aku tak bisa tak memikirkannya.
Aku tak bisa sehari tanpa kabarnya.
Inikah cinta buta?
Entahlah…...
Bersamanya benar-benar penuh warna.
Senang, lucu, sedih, kecewa, sakit.
Kadang aku tampak lemah, rapuh.
Tekanan yang bertubi-tubi memukulku.
Aku kuat saat memikirkannya yang bersamaku.
Mengertilah….
Kadang saat merasa tersakiti olehnya, kuterpikir, benarkah dia tetap menginginkanku?
Saat itu aku ingin pergi jauh.
Ke tempat tak ada orang yang mengenalku.
Ke tempat yang ada seseorang yang bias mengerti aku seutuhnya.
Ke tempat yang ada seseorang yang bias menerima aku yang apa adanya ini.
Kadang aku merasa tidak sanggup dengan ini semua.
Aku ingin bersamanya.
Betapa inginya aku memeluknya.
Bersandar di dadanya
Mendengar suaranya yang menguatkanku.
Merasakan lembut belaiannya.
Tapi aku tidak akan melakukannya sebelum kami benar-benar dihalalkan.
Aku takut pada ALLAH SWT dan aku yakin, akan sangat indah saat waktunya benar.
Apakah ini hanya nafsu?
Aku belum pernah merasakan yang seperti ini.
Aku tetap meyakini inilah cinta.
Tuhan, tegarkan hatiku.
Tak mau sesuatu merenggut dia.
Naluriku berkata tak ingin terulang lagi.
Kehilangan cinta hati bagai raga tak bernyawa.
Ini semua salahnya.
Seharusnya aku membencinya.
Bahkan tak ingin hanya mengingat bahwa aku pernah mengenalnya.
Atau mungkin aku sudah membencinya.
Aku ingin dia harus tahu bagaimana keadaanku di sini, bagaimana penantianku, bagaimana kerasnya aku yang mempertahankannya di depan mereka.
Yang terealisasi dengan kalimat-kalimat itu.
Aku tahu hal itu bias membuatnya merasa terpojok.
Tapi, aku sudah benar-benar geram dengannya.
Sebenarnya dia mengerti atau tidak sich?
Ini memang salahku.
Dan aku sadar, ternyata kami sangat berbeda.
Apa dia bisa benar-benar mengerti aku?
Aku bias mengerti dia, tapi keadaanku di sini tak sengaja membuatku mendesaknya. Ma’afkan aku….
Kenapa dia tega menyakitiku sesakit ini (lagi)?
Kepalaku hampir mau pecah saja rasanya
Kadang kupikir, haruskah aku melepaskan ini semua demi ketenanganku kembali?
Aku juga ingin ceria kembali seperti dulu, sebelum mengenalnya.
Dengan pikiran-pikiranku yang logis tentang cinta.
Tapi, aku takut itu justru akan menyakitkan, karena aku harus melepaskannya.
Dan aku takkan sanggup jika hal itu harus terjadi.
Benarkah keputusanku ini, yang memilihnya hingga tetap mempertahankannya dengan cara dan liku yang seperti ini, yang kadang terasa sangat menyakitkan?
Tapi, aku tetap percaya, Tuhan punya rencana misterius yang istimewa dan terbaik untuk setiap hambanya. Begitu juga untuk kami berdua.
Aku masih ingat dan betul-betul sadar, manusia hanya berencana.
Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui telah menuliskan semuanya. Ma’afkan aku….
Ma’afkan aku yang sampai saat ini masih sering meragu.
Kurasa dia sudah benar-benar mengenalku, bahkan dari sisiku yang tak disukainya.
Apakah dia akan meninggalkanku?
Aku tak ingin itu terjadi.
Tapi, jika dia menginginkannya, aku bisa apa?
Sedih? Menangis? Marah? Putus asa?
Ya ALLAH, tolong tegarkan hamba,
Akhirnya ini berakhir.
Rasaku padanya telah hilang.
Setelah sekian aku selalu mengerti dia, selalu mema’afkannya.
Sekian itu pula ia kembali mengulanginya.
Hingga hilang semuanya, tersapu oleh rasa sakit yang telah disuguhkannya padaku. tunjukkan jalan yang terbaik untuk hamba.

Sabtu, 12 Mei 2012

Senyum Fai untuk Ferin?

Riuh tepuk tangan menggema di tempat itu. Sebuah lapangan basket indoor yang letaknya di dekat tempat bimbelnya Ferin. Dan kebetulan sore itu jadwal bimbelnya Ferin dan Manda lagi ditunda ke esok harinya.so, mereka gak nyia-nyiain waktu luang itu deh.

Ferin suka banget sama basket. Pas banget saat Manda ngajak nonton anak-anak basket yang lagi pada latihan. Yup, ini kali pertamanya Ferin nonton langsung permainan basket para atletnya yang bukan teman sekolahnya.

“Seru banget, Sob!” kesan Ferin saat permainan tersebut telah berakhir.

“Pastinya!” manda mengiyakan.

Lalu, tanpa sengaja pandangan Ferin menangkap satu sosok. Sosok seseorang yang akhir-akhir ini cukup mengisi hari-harinya.

Sementara Manda yang lagi girangnya ngecengin plus tebar pesona sama cowok-cowok yang jago basket itu, Ferin justru terdiam bungkam. Dan Ferin merasakan ada sebuah debaran yang tak menentu di dadanya. Bagaimana tidak? Sosok yang tak lain adalah seorang cowok yang tubuhnya atletis banget (tapi, dia bukan atlet lho?), tampan lagi, sedang menatapnya dengan tatapan yang tak isa diartikan oleh Ferin. Sebuah tatapan yang begitu lembut dan menyentuh. Dilengkapi dengan senyum yang paling menawan yang pernah dilihat oleh Ferin.

Sebenarnya Ferin tidak yakin betul, apakah senyum dan tatapan itu memang ditujukan untuk dirinya. Disekelilingnya ada banyak orang, ceweknya cantik-cantik pula. Rasanya begitu naif jika Ferin merasa dirinya lebih cantik daripada cewek-cewk bak model itu. Tapi, Ferin juga tidak bisa menyangkalnya, kalo dia sangat tersanjung jika itu semua memang tertuju untuk dirinya. Karena udah hampir dua bulan ini, cowok kelas XI IPS 2 yang satu sekolah dengannya itu sering ketangkap basah saat sedang memperhatikan Ferin.

Ya, meski Ferin masih ragu. Kalo cowok itu memang suka sama Ferin, kenapa dia gak pernah usaha buat deketin Ferin dan cuma ngasih senyum dan tatapan yang sungguh mempesona itu? Dan kalo tuh cowok gak lagi naksir Fein atau senyum dan tatapan itu bukan untuknya, kenapa juga Manda pernah bilang kalo dia juga sering lihat adik kelasnya itu lagi merhatiin Ferin? Bahkan saat Ferin pulang sendirian pun, tuh cowok juga sering memperhatikannya seperti itu. So, bukannya udah pasti kalo itu semua memang ditujukan untuk Feri? Lebih dari itu, Ferin juga merasa tatapn dan senyuman cowok yang bernama Fai itu memanggil dan mengetuk hatinya. Bahkan ketika Ferin yang tadinya gak mengetahui kehadiran cowok itu didekatnya. Seolah setiap kali perasaan seperti itu hadir merupakan suatu pertanda kalo Fai sedang memperhatikannya.

Tapi, gimana pun juga, Ferin tetep aja gak percaya kalo Fai emang naksir dia selama cowok itu gak ada usaha PDKT-nya sama sekali.

“Ferin!” panggil Manda heran sambil nyikut lengan Ferin. “Ngapain loe nyengir selebar itu? Pake bengong lagi!”

“Hah?” Ferin jadi salah tingkah. “Gue nyengir? Masa sich? Perasaan senyum dikit aja deh,” kilah Ferin.

Manda geleng-geleng kepala sambil tersenyum menggoda Ferin. “Kenapa? Loe lagi dihipnotis ya, non?” Manda mengikuti arah pandangan Ferin. “Oh…. Jadi itu tuch yang bikin loe jadi linglung gini?”

Ferin tersipu salting. “Apaan sich loe!”

Latihan basket udah selesai, semua penonton berdiri dan berbalik ke arah pintu gedung. Termasuk Fai, si Mr. Misterius itu.

Ferin tetap berdiam diri. Ferin begitu terhipnotis oleh senyum lembut dan tatapan sendu Fai yang tak mau lepas dari wajah cowok hitam manis itu. Ferin merasa kalo senyuman itu memang ditujukan untuk dirinya. Sedangkan Manda yang menyadari adegan itu, Cuma bisa ikut-ikutan diam. Niat Manda sich ngasih kesempatan, kali aja di sini Fai mau mulai PDKT-nya ke Ferin. Hingga akhirnya Fai berlalu melewati kedua sahabat itu. Dan mereka saksikan, kesempatan itu terbuang sia-sia.

apa sich maksudnya? batin Ferin. Tampak raut kecewa diwajahnya.

Manda ikutan ciut dengan ngedumel dalam hatinya, apa sich maksud tuh cowok?

Ferin sudah hampir melangkah saat sebuah tepukan lembut mampir di pundaknya. Ferin hampir saja berlonjak karenanya. Dan dia mengira orang yang berdiri di belakangnya itu adalah Fai.

Manda juga merasakan kehadiran orang lain. Keduanya pun berbalik bersamaan.. baru saja Ferin hendak tersenyum semanis-manisnya, tapi saat dilihatnya orang itu adalah Fai, diurungkannyalah niatnya itu.

“Rin!” cowok itu memegang kedua pundak Ferin dan menatapnya dengan penuh penyesalan. “Sorry ya, aku baru datang. Dan sorry lagi, aku lupa bawa uangnya. Kamu gak pa-pa kan?” tanya cowok itu sambil tersenyum berharap Ferin mema'afkannya.

Ferin yang kaget melihat cowok putih berkacamata tebal itu Cuma bisa diam bengong. Ferin gak ngerti. Pasalnya Fein sama sekali gak mengenal cowok itu.

Manda memandangi Ferin sambil menautkan alisnya., menuntut jawaban atas pertanyaannya, siapa cowok ini? sedangkan yang ditanya dengan isyarat itu cuma terdiam keki gak ngerti gimana harus bersikap.

Cowok itu terus bicara dengan riangnya. Dan sumpah gak ada satupun dari kata-kata cowok itu yang dapat dicerna oleh Ferin.

Sementara itu sepasang mata lain sedang memperhatikan kejadian itu dari depan pintu. Sebuah tatapan yang bertanya dan mengobarkan api yang membakar hati si pemiliknya. Lalu dengan menaha gemuruh di dadanya, sosok itu melangkah menjauh.

Sejenak Ferin merasakan ada yang aneh, persis sepeti panggilan yang dirasakannya setiap sebelum melihat senyum dan tatapan Fai.dan saat dipendarkannya pandangannya. Tiba-tiba Ferin merasa cems dan takut. Dan dirasakannya perasaan itu semakin mengecil sama seperti melihat sepeda yang melaju menjauhi.

“Apa artinya?” ucap Ferin tanpa sadar.

Manda yang terlanjur heran dengan kedatangan cowok ini, semakin tambah bingung dengan ucapan Ferin. Apalagi saat disadarinya ia tak mendapatkan jawaban tentang, siapa cowok imut ini?

“Ya udah, deh. Gue duluan, ya. Dagh Ferin….”

Cowok itu pun melangkah menjauh.

“seperti malaikat….” Lirih Ferin.

“Ya, wajahnya imut-lucu gitu, kayak anak kecil yang tanpa dosa, tau gak?” sahut Manda, mengagumi cowok itu.

“Siapa maksud loe?” sambar Ferin seperti baru bangun dari tidur panjangnya.

“Ya cowok yang barusan….”

‘Fai?”

“bukan. Cowok yang barusan ngobrol sama loe. Cowok yang baby face tadi. Masa loe lupa sich

“jangan ngaco, deh! Pulang, yuk!”

Manda mengangkat bahu, mengakhiri rasa penasarannya kali ini.

Keduanya pun melangkah.

Koq Manda jadi ngawur gini, sich? Ferin melirik manda sebentar. Ferin ingat, dia memang merasa didekati cowok imut, tapi tidak mungkin itu nyata. Mungkin aku cuma ngalamin dejavu, pikirnya. Tapi kalo imajinasinya, koq Manda pake ngomong tentang cowok imut, ya? Cowok baby face, kata Manda.

Sementara itu, yang dimaksudnya Ferin seperti malaikat itu adalah perasaan aneh yang tiba-tiba menyentuh hatinya barusan. Mungkinkah itu dia?

*****
“Dompet loe udah ketemu?” tanya Manda sembari menepuk pundak Ferin.

Keduanya sedang melangkah keluar dari kelas bimbel seiring berakhirnya jadwal tes hari ini.

Ferin menggeleng, “Belum.”

Manda bisa mengerti. Manda tidak berkomentar bukan karena dia gak perhatian sama sobatnya itu. Tapi, Manda memang tipe cewek yang gak suka memperpanjang masalah. Kalo dompetnya gak ketemu juga itu artinya rezekinya di dompet itu gak diperpanjang lagi.

“gue ke toilet dulu, ya!’ Pamit Manda. Loe tunggu di sini, ya!


“Ferin!”

Seorang cowok berkulit putih dengan kacamata tebalnya menghampiri Ferin. Dan secara reflek, panggilan cowok itu mencegat langkah Ferin. Dan memang itulah yang diinginkan oleh cowok yang memanggilnya itu.

Cowok babyface itu berhenti di depan Ferin. “Ketemu lagi. Tapi sorry ya, Rin, gue gak bawa uang loe.”

Ferin mengerutkan keningnya. Cowok imut ini lagi. Andai ini nyata….

“Oke deh, Rin. Masih ada yang mesti gue kerjain nich! Dagh….”

Cowok itu berlari menjauh sambil melambaikan tangannya pada Ferin.

“Dagh….” Ferin yang bengong mau aja membalas lambaian cowok babyface itu.

Imut banget nich cowok. Coba dia bener-bener ada buat gue, gumam Ferin.

Ferin masih belum percaya tentang kenyataan adanya cowok baby face yang ngajakin dia ngobrol itu. Soalnya selama ini hidup Ferin tuch datar-datar aja. Belum pernah ada cowok baby face yang mendekatinya seperti ini.

Dia pasti lebih muda dari gue, batin Ferin yang bentar lagi mau UAN.

*****
Perpustakaan. Inilah tempat favorit Ferin. Bahkan gak jarang saat jam kosong pelajaran digunakannya untuk membenamkan diri di dunia buku itu. Lebih-lebih jam saat jam istirahat. , bawaannya mau ke perpus aja. Biasanya sich Ferin pergi sendirian ke perpus.

Ferin lagi asyik nentengin novel butterfly dream’s saat dirasakannya kehadiran seseorang di dekatnya. Sepertinya Ferin kenal dengan aroma ini. Tapi ferin gak peduli. Mungkin aja itu anak yang suka ke perpus juga.

“Sstt….” Seru sebuah suara dari samping kirinya ferin.

Ferin menoleh ke arah suara itu dengan kaget. “Loe?”

“Iya, gue. Ini dompet loe, kan?” Cowok babyface itu menyodorkan sebuah dompet berwarna hijau kepada Ferin.

“Iya, makasih, ya“

“Dompet loe. Tiga hari yang lalu aku nemuin dompet ini di meja itu,” tunjuknya ke arah sebuah meja di sudut ruangan. “Terus gue cek, nyatanya ada nama dan foto loe. Bener, kan?”

Ferin diam, mengingat kejadian tiga hari yang lalu. Tepatnya sehari sebelum ferin nonton latihan basket kemaren lusa. Ya, ini memang domptnya. Tapi, koq bisa ada sama cowok ini. Bukannya cowok ini Cuma ada diimajinasinya, ya?

Cowok itu tersenyum malu. “Sebenarnya gue udah lama merhatiin loe,” paparnya perlahan.

“Apa?” Ferin menajamkan pendengarannya, rasanya gak percaya dengan yang baru saj didengarnya. Cowok babyface ini udah lama merhatiin Ferin? Apa itu artinya, sekarang cowok ini mulai PDKT ke Ferin? Senengnya kalo dugaannya ini benar.

Tiba-tiba lagi-lagi Ferin merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada yang sedang memperhatikannya. Ferin nengok kanan –kiri, depan-belakang, dan ke sekelilingnya. Tapi gak ada seseorang yang mencurigakan. Tapi, perasaan itu semakin kuat saja dirasakannya.

Sementara itu seseorang baru saja menarik tubuhnya ke belakang dinding hingga tak terlihat oleh orang yang sedang diperhatikannya.

“Ferin, loe kenapa?” Tanya cowok itu, ia heran melihat tingkah Ferin yang celingak-celinguk gak jelas.

“Hah? Apa? Gue gak kenapa-kenapa, koq. Terusin lagi cerita loe!”

“Aku….”

“Oh ya, siapa nama loe?”

“Iya ya, kita kan belum kenalan.” Cowok itu segera mengulurkan tangannya ke depan ferin. “Namaku Rendy”

“Nama loe keren juga. Loe anak baru, ya? Kelas 3 apa?”

“Iya, aku anak baru. Kelas X-1.”

“Kelas X?”

“ Iya, emangnya kenapa?”

“Gak. Pantesan loe imut banget. Jadi loe beneran nyata, ya?”

"Ferin!” Tiba-tiba Manda udah nongol di depan Ferin. “Bu Dina udah mau masuk kelas. Yuk!” Manda langsung menarik tangan Ferin setelah sebelumnya melirik ke arah Rendy sebentar.

Ferin pun langsung mengikuti Manda yang dipimpin oleh tarikan itu dan tak sempat mengucapkan kata pamit pada cowok imut yang bernama Rendy itu. Manda pun terus menarik Ferin hingga mereka tiba di ke;las.

“Rin, loe bilang gak kenal sama si babyface itu. Nyatanya loe malah berduaan sama dia, di perpus lagi, tempat yang cocok banget buat berduaan, sepiii….” umbar Manda.

“Loe ngomong apan sich?”

“Nona polos, yang gue maksud ngapain loe sam cowok imut itu di perpus?”

“Namanya Rendy, anak kelas X-1….”

“Kelas X? gokil loe, punya gebetan koq adek kelas mulu isch. Kan cowok seangkatan kita yang keren-keren masih banyak.”

“Ralat, ya! Siapa juga yang ngegebet adek kelas. Ngobrolnya aja baru sekali ini.”

“Kemaren waktu nonton basket juga ngobrol, kan? Kemaren Fai, anak kelas XI IPS 2. Sekarang si babyface, anak kelas X-1.”

“Rendy Cuma mau ngembaliin dompet gue yang kemaren hilang. Dan Fai___gue Cuma penasaran aja sama dia. Gak lebih.”

“Yakin loe?”

“Loe gak percaya ama gue?”

“Ya udah, kita belajar dulu aja, ya.”

“Keduanya pun mengakhiri obrolannya seiring tibanya Bu Dina di kelas mereka.”

*****
“Ferin!” Panggil sebuah suara tepat saat Ferin menuruni anak tangga saat bubaran sekolah.

Ferin menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Rendi sedang berlari-lari kecil ke untuk menghampirinya.

“Loe pulang sendirian? Gue anterin, ya?!”

Ferin mengerutkan keningnya. Koq nich cowok imut ngajakin dia pulang bareng? Oh, jadi bener, cowok ini emang mau PDKT sama dia.

“Diam berarti, ya. Yuk!” Tanpa persetujuan Ferin, Rendy sudah memegang tangannya demi mengajaknya melangkah.

Ferin Cuma diam sambil tersipu malu dan pipinya pun utelah bersemu merah. Ferin pun mengiluti langkah Rendy. Dan Rendy udah sumringah banget, cengar-cengir ke semua orang yang berpapasan dengannya.

Sshh…. Tiba-tiba Ferin mendengar panggilan itu lagi. Tepatnya perasaanya mengatakan ada sesuatu. Tapi, Ferin gak tau apa itu. Apakah sesuatu yang menyenangkan atau tidak? Yang Ferin tau, hanyalah perasaannya yang seperti itu seolah sebagai suatu pertanda. Tapi, apa?

“Sayang!” Ujar sebuah suara cewek yang langsung melepaskan genggaman tangan Rendy dan menggandengnya. “Koq gak nungguin aku, sich? Kita kan udah janjian mau pulang bareng, trus nge-date. Yuk!”

Rendy melongo kaget. Dan Ferin ikutan diam doang.

Rendy ngeliatin cewek itu dengan jengah dan berusaha melepaskan gandengan cewek yang gak dikenalnya itu.

“Kita pulang sekarang, kan sayang?” Cewek itu semakin mesra bergelayut di lengan Rendy.

Cewek itu semakin menjadi-jadi saja dengan sikap manjanya itu. Sedangkan Rendy tak henti-hentinya berusaha melepaskan diri dari cewek itu.

Ferin mulai ngerti. Ini cewek pasti pacarnya Rendy. Tapi, Rendy kan lagi PDKT ke dia. Kayaknya gak mungkin cowok seimut Rendy seorang playboy. Tapi, siapa cewek ini?

Ferin pun mulai melangkah.

“Ferin, tungguin aku!” Teriak Rendy. Aku bisa jelasin semua ini. Rendy berusaha menghentikan langkah Ferin.

“Rendy, mending loe selesaikan masalah loe dulu. Kita bisa pulang bareng lain kali.” Ferin tersenyum. Lalu melangkah lebih banyak lagi.

Sepeninggal Ferin, cewek yang menggandeng tangan Rendy itupun langsung melepaskan tangannya. Dan berlalu.

“Hei, tunggu!” Teriak Rendy. Dia mengejar cewk itu. “Siapa loe? Apa mau loe?”

“Cuma mau nyampein pesan. Jangan pernah deketin Ferin lagi! Atau loe bakalan nerima akibatnya!” Cewek itu melangkah meninggalkan Rendy.

“Loe bicara atas nama siapa?” Teriak Rendy.

Rendy berdiri terpaku. Siapa yang menyuruh cewek itu? Apakah orang itu juga menyukai Ferin? Jadi dia punya saingan, ya? Tak apa. Ferin memang cewek yang pantas disukai oleh banyak cowok. Dan Rendy gak akan menyerah hanya karena ini. Dia yakin, Ferin cewek baik-baik yang bisa bedain mana orang yang baik.

Ferin terus melangkah keluar dari sekolah dengan hati bertanya-tanya. Siapa cewek itu dan apa maunya? Rendy tampaknya bukan seornga cowok yang suka mainin perasaan cewek koq. Tampaknya Rendy cowok yang tulus.

Ferin berhenti di depan gerbang sekolah, menunggu angkutan kota. Rupanya Manda sudah dijemput. So, terpkasa, ferin pulang sendirian.

Ferin tengok kanan-kiri. Kali aja ada salah satu temannya yang juga lagi nunggu angkutan kota. Tapi, ternyata gak ada, semuanya anak kelas X.

Fuih….

oo… lihat arah pukul 9! Dengan ragu bercampur malu, ferin menoleh ke arah itu. Hmm… gantengnya. Keren banget.

Di situ Fai sedang berdiri seorang diri. Dan lagi-lagi Fai tersenyum manis ke arah Ferin. Dengan tatapan seperti orang yang lagi falling in love gitu. Ferin luluh. Dan tanpa sadar, Ferin pun menirukan tatapan dan senyum seperti orang yang lagi kasmaran itu.

Fai, cowok yang ditemukan Ferin sedang menatap dirinya dengan tatapan aneh yang lembut, tatapan yang membuat Ferin begitu penasaran. Dengan seulas senyum yang begitu manis dan menawan.

surat bersampul merah jambu

Dalam beberapa detik saja sosoknya telah menghilang dari pandangan. Mula-mula ia beranjak mundur. Lalu dengan samar saja hingga tak tampak sedikitpun lagi.

Adista masih ditemani uraian air matanya. Matanya sembab. Entah sudah berapa lama tangisnya tak jua berhenti. Hatinya terasa begitu pedih atas kenyataan ini. Adista menatap nanar pada jalanan malam yang masih didera hujan lebat itu.

Hati adista semakin tersa pedih, perih sekali. Rasanya segala kesedihan tengah bersanding dengannya saat ini. Tak akan pernah lagi dijumpainya sosok yang begitu disayanginya itu.

Adista telah merasakan begitu sedihnya kehilangan, terlebih lagi dia tidak akan bertemu dengan sosok itu lagi. Ini telah melemaskan seluruh otot di persendiannya. Hingga terciptalah Adista yang terkulai duduk sambil terus menangis menyesali semuanya.
Air mata Adista pun telah menyatu dengan derasnya rintik hujan. Tak dipedulikannya selimut malam yang begitu dingin dan gelap yang tengah memeluknya. Diacuhkannya saja tubuhnya yang telah menggigil dengan begitu hebatnya. Sesal yang terlambat yang dimilikinya kini takkan bisa mengembalikannya semua yang telah terjadi. Masih terngiang semua yang telah terjadi di heri terakhir sosok itu.

*****

“Dis, hari ini jangan sampai lupa lagi, ya! Surat itu harus nyampe ke tangan Davi biar di bisa baca sendiri,” pesan Rieka dengan semangatnya.

Adista tersenyum hambar.

Rieka adalah teman sekelas Adista. Mereka bukan teman akrab. Hanya saja akhir-akhir ini Rieka jadi suka deketin Adista, sekedar nanyain tentang Davi. Dan kemaren akhirnya Rieka ngaku juga kalo dia naksir Davi. Rieka cantik. Dia seorang model yang sering mengikuti dan memenangkan berbagai lomba di bidang modelling.

Dan Davi__ dia seseorang yang sudah dua bulan ini jadi temen dekatnya Adista. Memang tak begitu dekat. Hanyan teman ngobrol di waktu luang. Tadinya Davi tak begitu dikenal di sekolahnya ini. Tapi sekarang Davi sudah cukup pouler. Tepatnya setelah Davi bergabung dengan klub volly di SMA ini. Bahkan ada banyak gadis yang nembak Davi secara terang-terangan. Dan entah berapa banyak yang naksir Davi dalam diam, lewat tatapannya yang terus mengikuti sosok seorang Davi. Davi seorang cowok yang cute dan yang terpenting dia easy going dan friendly banget.

Sedangkan Adista bukan siapa-siapa. Adista hanya seorang gadis biasa yang mencoba menyayangi sseorang dengan tulus. Davi, dialah orang itu. Cowok yang disukainya secara diam-diam sejak kelas 1 hingga kelas 2 ini. Hanya dua sobat, Tika dan Nia yang mengetahui kisah kasih terpendamnya ini. Dan atas usaha mereka berdua jualah Adista dan Davi bisa menjadi teman ngobrol yang cukup dekat.

Bagi Adista, Davi adalah cowok yang manis dan menyenangkan, stylenya keren, sporty. Sedangkan Adista__ dia tidak secantik gadis-gadis yang sudah ditolak Davi. Apalagi jika dibandingkan dengan Rieka, Adista jadi tambah minder.

Sebenarnya sudah dari kemaren Adista dapat titipan berupa sebuah surat bersampul merah jambu dari Rieka dan ditujukan untuk Davi. Hati Adista semakin merintih. Keinginannya untuk hanya memendam perasaannya pun semakin kuat saja.

“Bukannya lupa, tapi kemaren gue emang gak ketemau sama orangnya.”

Rieka manggut-manggut percaya.

“Dis, cepetan!” Teriak Nia dari depan pintu kelas.

Rieka pasti tak menduga bahwa Adista juga mempunyai rasa pada Davi, meskipun hanya dipendamnya.

Jam pulang sekolah telah berlalu sepuluh menit. Dan selama itu jua telah dilakoninya dengan mendengarkan ocehan Rieka mengenai Davi. Dan dua sobatnya itu menunggu dengan setia di luar kelas. Mereka tak mungkin sabar mendengar kan Rieka yang terkenal dengan kebanggaannya akan dirinya yang sebagai seorang model itu.

"Ya udah, Rie, gue pulang duluan, ya. Soal ini pasti gue usahain koq.” Adista mengibas-ngibaskan surat untuk Davi itu.

“Pokoknya harus dibaca Davi hari ini, ya Dis. Gue udah gak sabar mau tau reaksi Davi saat dia tau kalo gue suka dia.”

Adista menganggukkan kepalanya, lalu beranjak menghampirikedua sobatnya itu.

Ketiganya pun melangkah meninggalkan kelas XI IPA 2. Langkah mereka pun menggema di koridor sekolah yang sudah sunyi itu. Dinding-dinding pun hanya diam membisu.

Namun, kesunyian ini tak sama dengan perasaan Adista. Saat ini perasaannya telah dihuni oleh suatu keramaian, yaitu kegelisahan yang teramat besar.

“Dis, gue duluan!” Rieka meleset berlari di samping mereka.


"Sialan tuch cewek!” maki Nia tanpa didengar oleh Rieka.

Tika yang menyadari perasaan Adista saat ini langsung menyenggol lengan Nia sebagai isyarat agar Nia juga memperhatikan Adista yang sedari tadi jalannya menunduk saja.
Nia pun menurut.

Ketiga sobat ini pun terus melangkah menuju gerbang sekolah.

“Dis!" Panggil Tika. “Adista!”

“Hah?” Adista pun tersadar dari lamunannya. ‘Ada apa ?”

"Mending surat itu gak usah loe kasih ke Davi deh, daripada loe tertekan kayak gini,” usul Nia.

Tika sependapat dengan Nia. Tentunya mereka gak mau melihat sobatnya yang satu ini terus bermuram durjana.

“Gue bakalan lebih tertekan lagi kalo gak nepatin janji gue untuk nyampein surat ini ke Davi,” ucap Adista pasrah.

Tika dan Nia saling pandang dengan prihatin.

“Janji ? janji apan sih ?"

Ketiga gadis ini langsung menoleh kaget ke arah suara yang tiba-tiba muncul di antara mereka itu. Rasanya suara itu tak asing di telinga mereka.

"Ngagetin orang melulu loe ! gimana kalo kami jantungan? Hah?” Nia memukul-mukul lengan Davi.

Sedangkan Davi mencoba menghindar sebisa mungkin sambil cengar-cengir. Nich anak emang suka banget usil sama Nia.

Tika dan Adista tertawa mrlihat tingkah laku kedua orang yang lagi kejar-kejaran kayak anjing dan kucing itu. Nia anjingnya dan Davi kucingnya. Karena Davi lah yang sedang dikejar oleh Nia.

Saat melihat Davi, sejenak Adista melupakan keresahan yang tengah menerpanya, yaitu antara menyampaikan surat itu atau tidak.

"Hai, Dis!” sapa Davi saat sudah berhenti main anjing kucing dengan Nia.

“Hai!” Balas Adista sambil tersenyum. Pipi Adista pun bersemu merah.

Tanpa sepengetahuan Davi dan Adista, Nia ngasih isyarat pada Tika melalui matanya. Tika pun langsung mengerti arti tatapan itu.

“Dis, kami pulang duluan, ya. Harus buru-buru nich,” pamit Tika.

“Lho? Kan kita emang mau pulang,” tukas Adista. Adista mengerti maksud kedua sobatnya itu. Mereka pasti mau ninggalin dia berduan sama Davi.

“Ya udah, pergi sono! Adista biar gue yang nganterin pulang. Gue gak mungkin tega ngelihat Adista pulang sendirian,” kata Davi sambil melirik Adista sekilas dan tersenyum.

Adista semakin tersipu. Wajahnya pun sudah semerah buah tomat. Ternyata Davi juga mengerti maksud Nia dan Tika.

“Narsis loe! Awas loe kalo sampe terjadi apa-apa sama sobat gue!” Tunjuk Nia pada Davi.

“Daagh, Dis!”

Nia dan Tika pun mempercepat langkah mereka mendahului Adista dan Davi.

Sepeninggal kedua cewek itu, Adista dan Davi jadi sama-sama salah tingkah. Sepasang anak manusia ini pun hanya terus melangkah tanpa berbincang. Bingung plus malu. Enaknya ngomongin apaan, ya?

Setibanya di depan gerbang sekolah barulah Davi membuka mulut. “Tunggu di sini bentar ya, Dis. Gue ngambil motor dulu.”
Davi sudah ngambil sikap kuda-kuda untuk berlari, tapi langsung tertahan.

“Davi….” Adista menggantung kalimatnya. Rasanya tiba-tiba lidahnya tersa kelu.
Sebenarnya Adista masih bingung mengenai surat itu.

“Ya?”

“Rumah gue kan deket. Jalan kaki bentar juga udah nyampe.”

“Ya udah gue temenin jalan kaki dech.”

Adista mengangguk sambil tersenyum.

Keduanya pun terus melangkah menuju rumah Adista. Masih dalam diam. Mereka melangkah dengan isi benaknya masing-masing. Meletakkan kembali potongan-potongan memori di tempatnya yang benar.

Adista masih bimbang. Tapi Adista tahu, bagaimanpun juga di tetap harus mengambil tindakan itu. Antara janji yang merupakan sebuah amanat perasaan yang dengan setianya selalu menemaninya. Adista harus memilih amanat itu. Toh akhirnya yang mengambil keputusan juga bukan dirinya. Davi lah yang akan memutuskan untuk nerima Rieka atau tidak. Meski akhirnya Davi memilih Adista, mungkin itu yang terbaik.

Adista menghentikan langkahnya. Dan merogoh sesuatu di dalam tasnya. Mengambil surat bersampul merah jambu itu. Tanpa membaca isinya pun Adista sudah dapat menebak isinya. Tentunya tentang perasaan Rieka yang mau jadi ceweknya Davi.

Dengan heran, Davi pun ikut menghentikan langkahnya. Davi memperhatikan Adista yang sedang mengaduk-aduk isi tasnya itu dengan alis terpaut.

“Dis, loe ngapain?”

“Ada yang gue cari nich,” jawab Adista tanpa menoleh Davi.

“Mau gue bantuin?”

“Gak__gak usah. Nich udah ketemu,” Adista memamerkan surat bersampul merah jambu itu pada Davi.

Sejenak Davi terhenyak. Namun, dia segera tersenyum. Davi tak menyangka Adista akan seberani ini. Davi berpikir, ngapain Adista mamerin surat itu padanya kalo maksudnya bukan ‘itu’. Adista pasti pengen ngutarain perasaannya pada dirinya lewat surat itu. Sebenarnya Davi sudah menduga kalo Adista juga menyukainya. Tapi, kali ini rasanya Davi bener-bener dapat surprise.

“Apaan tuch?”

“Surat cinta.”

Davi tercenung, dugaannya benar. ”Untuk siapa?”

“Buat loe.” Adista menyodorkan surat itu ke depan Davi.

“Gue?” Davi menunjuk dirinya sendiri denga tergagap.

Adista mengaggukkan kepalanya dan berusaha setenang mungkin dengan tersenyum sebisanya.

Davi menerima surat itu, lalu mencoba untuk membukanya. “Gue baca di sini gak pa-pa kan?”

“Ya.” rasanya koq sakit, ya? “Tapi sorry gue baru bisa ngasihnya sekarang, sebenarnya dia udah ngasihnya dari kemaren, tapi kemaren kita gak ada ketemu kan?”
Seketika gerakan tangan Davi terhenti. Dia? Dia siapa? Bukannya surat ini dari Adista sendiri? Davi membatin.

“Koq berhenti, sih? Baca donk. Gue kan juga pengen tau apa isinya.”

Davi membuka lipatan kertas itu dan mulai membacanya.

Betapa terkejutnya Davi, saat membaca nama di akhir kata-kata pernyataan cinta.
“Rieka?” Kenapa bukan Adista? Davi sangat kecewa.

“Aaaaaaa….” Tiba-tiba Davi berteriak. “Surat ini dari Rieka?” Davi mengibaskan surat itu di udara di depan Adista.

Davi…. Sejenak Adista terhenyak melihat tingkah Davi. Adista pun jadi sedikit takut, belum pernah dia melihat Davi yang seberang itu.

Belum lagi hilang keterkejutan Adista, Davi sudah melempar surat itu ke tengah jalan. Lalu memegang kedua pundak Adista. Mereka saling bertatapan. Ada sorot kemarahan di mata Davi.

“Adista, kenapa kamu setega ini sama aku?” Kata Davi ber-aku-kamu pada Adista. Rupanya Davi benar-benar kecewa dan marah.

Adista tidak tahu harus bagaimana. Kenapa Davi bisa semarah ini? Apa ada yang salh lalu di mana letak salahnya.

“Dista, loe tau, gue Cuma sa….”

“Davi!” Adista mengangkat kepalanya. “Apa yang terjadi denganmu? Apa kepopuleran yang kamu dapat sekarang ini bikin kamu gak bisa menghargai perasaan cewek? Rasa kasih sayang itu datang dari lubuk hati yang paling dalam, Davi. Bahkan dirinya yang sedang mengalaminya pun tidak bisa memutuskan siapa yang akan disayanginya.”

"Tapi, Dis, aku….”

Belum selesai davi mengutarakan maksudnya, Adista sudah melepaskan diri darinya. Adista berlari ke tengah jalan, menghampiri surat itu dan memungutnya.

“Davi! Gue gak nyangka bisa-bisanya loe membuang surat yang berisi perasaan cewek ke loe ini. “

"Dista, kamu boleh ngatain aku apa aja setelah kamu dengerin penjelasanku ini. Tadinya aku pikir surat itu dari kamu. Dan kamu lihat sendiri kan, betapa bahagianya aku saat nerima dan membuka surat itu. Tapi setelah aku tau surat itu bukan darimu, aku kecewa, Dis. Aku kecewa. Apa ini artinya kamu gak ngangap aku istimewa seperti istimewanya kamu di mataku dan dihatiku?"

Adista memutar kembali memorinya. Ya, wajah Davi memang tampak sangat bahagia saat nerima surat itu. Dan Davi menganggapnya istimewa….

“Dis, sekarang kamu udah tau maksudku kan? Meskipun kamu udah tau, tapi aku akn tetap bilang. Dista, aku….”

Dan belum lagi Davi menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba mendekatlah sebuah mobil jip dengan kecepatan tinggi ke arah Adista.

Sementara itu Adista telah begitu terpana dengan semua ucapan Davi, dia tersenyum tak percaya dan bahagia. Tanpa menyadari di mana tempatnya berdiri sekarang. Dan tanpa mendengar deru mobil ynag sedang melaju ke arahnya itu.

“Dista awas!” Davi berlari ke arah Adista.

Denga heran Adsita melihat tingkah Davi. Lalu saat menyadari keadaan dirinya dan mobil yang sedang melaju itu, Adista begitu ketakutan hingga kakinya pun tak mampu bergerak. Tak lagi dapat dilihatnya mobil itu dengan seutuhnya.

“Brukk!”


Gelap.

Lalu entah setelah berapa lama….

Aw.adista merasakan kepalanya begitu berat. Dengan amat perlahan, Adista berusaha membuka matanya. Pertama-tam yang dapat dilihatnya hanyalah sebuah kabut besar. Tak lama kemudian, Adista sudah kembali bisa melihat semuanya. Dan dirasakannya kepalanya masih sangat pusing.

Kemudian Adista melihat Davi yang telah terkapar payang di tengah jalan, tepat di tempatnya berdiri sebelumnya dan hanya dua meter dari tempatnya tergeletak sekarang.

Dengan kepala yang dirasakannya masih begitu berat, dipaksakan Adista untuk berdiri. Dengan terhuyung-huyung Adista berusaha melangkah menghampiri Davi. Lalu, dipercepatnya langkahnya.

"Davi!” Panggil Adista saat sudah berada di samping Davi.

"Davi!" Adista pun langsung mendekap davi di pangkuannya dan menggemggam erat tangan tangan Davi seoalh tak akan pernah dilepaskannya tangan itu.

Davi adista hampir tak sanggup melihat keadaan Davi sekarang. Cairan merah pekat hampir membasahi seluruh tubuh Davi. Dan Davi ynag telah terkapar payah, hanya merintih menahan rasa sakitnya.

Dengan mata yang setengah terbuka, Davi menatap tulus pada Adista dan masih menghadirkan senyum terindah yang dimilikinya. Dadanya pun naik turun dengan lebih cepat.

“Davi, kamu gak pa-pa. bertahanlah! Kamu pasti bisa!” Ucap Adista. Adista takut kehilangan Davi. “Tolong! Tolong! Tolong!” Teriaknya.

Davi tersenyum. “Dista, tersenyumlah untukku sebagai pertanda kita sehati,” ucapnya dengan terbata-bata.

Adista tersenyum dalam derai matanya yang berkaca-kaca.

Kemudian Davi berusaha menggerakkan tangannay untuk menyentuh wajah Adista.
“Tersenyumlah….”

Lalu, Davi menutup matanya dengan perlahan. Dan di pun terkulai lemah.

"Davi!” Panggil Adista pelan.

"Davi!” Adista mengulangnya dengan lebih pelan.

“Davi!” Adista mulai cemas. Dan dia pun mulai menangis.

“Davi!” Adista mengguncang tubuh Davi.

Saat disadarinya Davi telah tiada, Adista berhenti mengguncang tubuh Davi. Dan berhenti menangis. Lalu Adista tersenyum. Sebuah senyum yang ia usahakan semanis mungkin. Senyum yang akna selalu disukai Davi. Dan senyum yang akan selalu membuat Davi merindukan dirinya.

“Davi, aku sudah tersenyum. Davi, lihatlah. Senyum ini hanya untukmu.”

Tanpa disadari oleh Adista, orang-orang telah berdatangan sedari tadi, tepat saat Davi menghembuskan nafas terakhirnya. Karena itu mereka hanya diam menuggu Adista selesai biara.

“Davi….”

*****

Adista tak menangisi kepergian davi yang begitu cepat. Bagaimanapun juaga kematian adalah sebuah janji bagi setiap makhluk bernyawa. Adista hanya menangisi kelengahanny selama ini. Kelengahannya yang taka dapat menyadari perasaan Davi yang sama dengan perasaannya. Dan kelengahannya yang telah memarahi davi di saaat detik-detik terakhirnya.

“Davi, ma’afkan aku. Aku pasti akan sangat merindukanmu.”

Pernikahan

Tok! Tok! Tok!

Beberapa menit kemudian, pintu dibuka dari dalam.

Sosok itu muncul di hadapanku. Menatap wajahnya menghadirkan ketenangan di batinku. Di mataku, dia sangat istimewa. Meski badannya tidak seatletis Diandra. Dan yang paling kusuka darinya adalah tatapan mata sendunya yang memancarkan kehangatan. Dan aku selalu merasa terlindungi saat bersamanya. Dan tentunya aku juga selalu merasa nyaman saat di dekatnya.

“Aku mau nginep di sini!” Aku langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Dia hanya diam sambil menutup pintu.

Dia memang agak cuek dan dingin. Tapi ketika bersamaku, dia lebih sering bersikap sangat bersahabat.

Aku duduk di sofa ruang keluarga. Dengan muka ditekuk, aku meraih remote TV. Lalu menekan tombol On-nya.

Sementara itu, dia melangkah menuju dapur. entah apa yang mau dilakukannya. Mungkin dia sedang masak, saat aku datang.

“Let’s dance together, get on the dance floor…,” ringtone call alert ponselku berbunyi.

Aku meraih ponselku di dalam tasku. “Diandra,” gumamku.

Plak!

Kulempar ponselku ke sofa di samping kananku.

“Hallo!”

Aku menengok ke samping kananku. Sejak kapan Arya dis itu? Pakai pegang ponselku pula.

“Diandra, aku Arya.”

Kyaaakkk.. arya menerima panggilan Diandra.

"Mati’in!” ucapku dengan isyarat. Aku mencoba merebut ponselku, tapi Arya terus mengelak dariku.

“Arya, mati’in donk,” rengekku tetap dengan isyarat. Dan aku terus mencoba merebutnya.

Tapi Arya malah tambah asyik ngobrol dengan Diandra sambil terus mengelak dariku.

“Iiih…. Arya nyebelin!“ Jurus pamungkasku.

Capek mengejar Arya, aku kembali duduk di sofa.

“Iya, kalo Henny udah selesai mandi, pesan kamu pasti kusampaikan.” Arya menutup perbincangannya ditelepon. Lalu dia duduk di sampingku dan meletakkan ponselku di atas meja.

Dengan sok jutek, aku tak mengalihkan pandangnku dari TV.

“Mau minum?” Arya menyodorkan segelas jus jeruk padaku. Minuman favoritku. Mana bisa aku nerusain pura-pura juteknya.

Segera kuambil gelas itu dari tangannya. “Jadi barusan kamu bikin ini? Koq cepet banget?”

“Aku tau kamu mau ke sini.” Jawabnya singkat.

Hmm.. aku meminum jus jeruk buatan Arya. Enak!

“Diandra bilang, dia mau minta ma’af sama kamu.”

“Aku benci Diandra. Pembohong! Hari ini Diandra janji mau nemenin aku ke toko buku jam empat. Dan Diandra belum datang juga sampe jam enam. Kucoba telpon, ponselnya malah gak diangkat-angkat.”

“Apa kamu tau alasannya gak bisa datang?”

“Bodo!”

"Diandra harus nganterin dan nemenin kak Shinta yang mau melahirkan di rumah sakit.”

Aku menatap kaget pada Arya. Kak Shinta mau melahirkan? Kak Shinta itu kakaknya cowokku, Diandra. Jadi itu alasan Diandra. Tapi kenapa dia tak menghubungiku terlebih dulu untuk membatalkan janjinya? Atau aku juga bisa mendampinginya untuk menemani kak Shinta.

“Diandra gak sempat nelpon kamu karena saat itu dia sangat panik. Setelah kak Shinta melahirkan, dia baru ingat buat hubungin kamu.” Arya seolah mendengar pertanyaan yang hanya kuucapkan dalam hati itu.

Arya, apa dia benar-benar mengetahui segalanya tentangku? Apa itu artinya dia sangat memahamiku? Bagaimana dengan perasaanku padanya? Apakah dia juga dapat merasakannya? Atau itu hanya tebakannya?

Arya adalah kakak sepupuku. Dia kuliah di fakultas hukum di sebuah universitas swasta di Jakarta. Kuliahnya sudah semester akhir, tinggal nunggu hari dimana skripsinya akan diuji. Selain itu dia juga udah kerja di salah satu kantor advokat terkenal di Jakarta. Karena itu, dia sudah bisa mengontrak rumah, membiayai kuliahnya sendiri, serta mebiayai kehidupannya sehari-hari, meskipun masih belum bisa mengirimi orang tuanya. Orang tuanya kan tinggal di Bandung.

Meskipun kami sangat dekat dan saling mengetahui pribadi kami masing-masing, tetap saja aku tak bisa menebak perasaannya terhadapku.

Aku merasa sangat terlindungi ketika bersamanya. Dan sudah sejak sangat lama aku menyukainya, mengaguminya,, menyayanginya, dan segalanya. Dan aku gak mau jauh darinya apalagi sampai kehilangannya.

Dan Diandra adalah cowok yang sangat baik, perhatian, romantis, selalu tepat janiji, kecuali janji yang kemaren. Dan hampir tidak ada celah yang bisa kujadikan alasan untuk menolaknya. Aku masih ingat, kami baru jadian setelah umur PDKT-nya dua tahun dua bulan, setelah kesekian kalinya Diandra memintaku untuk menjadi ceweknya.

“Diandra sangat menyayangimu, Arya membelai rambutku.”

Kutatap matanya. Hanya ketenangan yang kutemukan di sana. Dan aku selalu sedih setiap kali kuingat aku tak bisa menemukan jawaban itu dimatanya.

Arya, sebenarnya kamulah cowok yang sangat kusayangi. Sering terngiang di sanubariku, bahwa Arya juga sangat menyayangiku. Tapi, dari kata-katanya tadi, mungkin kah kata hatiku itu salah?

“Aku tahu,” kutundukkan kepalaku. “Gimana sama kamu? Siapa cewek yang sangat kamu sayangi?”

“Lihat, sinetron kesayanganmu sudah mulai.”

Terulang lagi. Lagi-lagi Arya mengalihkan topik pembicaraan. Lagi-lagi Arya tidak mau membahasnya. Aku mau tahu, Arya. Siapa cewek beruntung yang telah mendapatkan hatimu itu? Pantaskah aku menjadi gadis itu?

Ketika jam makan malam hampir tiba, aku memasak emlet mie untuk menunya. Meski hanya dinner biasa, aku tetap senang bisa berduaan dengan Arya. So, omlet mie buatanku harus enak.

“Aku sudah nelpon mama, bilang kamu nginep di sini.” . arya muncul di sampingku sambil nyobain omlet mie yang sudah masak.

Ya, Arya memanggil mamaku dengan sebutan mama juga. Begitu juga sebaliknya. Aku jadi semakin tidak mau kehilangan Arya.

“Enak!” Kata Arya sambil menganggukkan kepalanya. Dan dia tampak sangat menikmatinya.

Aku tersenyum bahagia. Jadi merasa seperti istri Arya, memasak makanan untuknya dan selalu berada di sisinya, mendukungnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya, dan bahuku selalu siap untuk disandari oleh Arya.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dari luar.

Arya segera melangkah menuju pintu depan.

Setelah itu….

Aku tidak tahu siapa tamu itu dan memangnya aku mau tau. Lebih baik meneruskan kerjaanku memasak omlet untuk Aryaku.

Kemudian aku membereskan meja makan, menata peralatan makan yang akan kami gunakan. Dan tak lupa menata omlet yang sudah selesai kumasak dengan penuh rasa aksih sayang.

Tapi, setelah selesai....

Suara dari luar, koq jadi agak ribut, ya. Aku jadi penasaran juga nich. Siapa tamu itu dan apa yang sedang terjadi di luar sana.

Aku berjalan dengan perlahan. Mencoba mengintip dan mencuri dengar.
Arya sedang duduk berhadapan dengan seorang gais berjilbab. Gadis yang cantik, anggun, dan tampak dewasa.

Aku bisa mndengar perbincangan mereka, meskipun tidak mengerti apa yang sedang jadi bahan pembahasannya.

“Kamu tidak bisa seperti itu!” Ucap gadis itu dengan lembut, meskipun ia tampak tidak setuju dengan apa yang telah didengarnya.

“Bukannya kamu sudah mengetahui dan memahami hal ini!? Balas Arya dengan dingin.

“Tapi ini tidak seperti yang aku bayangkan."

Arya diam. Matanya menatap lurus ke depan. Arya bersikap lebih dingin daripada saat bersamaku.

Gadis itu mengerutkan keningnya dengan keheranannya.

“Terserah kamu!”

Sejenak gadis itu terhenyak. Kemudian dia mengucapkan salam untuk berpamitan dan berlalu.

Sepeninggal gadis itu, Arya langsung menatap penuh arti ke arahku. Itu bukan sebuah tatapan marah karena aku ketahuan mengintip. Seolah itu sebuah tatapan sebagai harapan untuk bersandar di bahuku. Arya, jika itu bisa membuatmu lebih tenang.

Sedangkan aku hanya bisa tersenyum malu. Kemudian Arya berjalan melewatiku, menuju meja makan. Dan aku mengekor di belaknagnya.

Kami pun menikmati makan malam ini tanpa perbincangan sedikitpun.

Arya, kamu sudah meluluhkan hatiku.

Tidak lama kemudian, ada sms masuk di ponselku.

Sayang, ma’afin aku….

Jangan lupa makan malamnya, ya.

Diandra, kamu baik banget sama aku. Tapi....

“Diandra?’ Tanya Arya.

“Iya, Diandra minta ma’af,” jawabku sambil mencet keyboard ponsel untuk membalas sms Diandra.

Aku lagi makan nich.

Kamu jangan lupa makan juga, ya.

Mana bisa aku marah lama-lama sama kamu.

"Diandra perhatian banget sama kamu. Kalian cocok sekali.”

Ada getar yang berbeda dari suara Arya.

“Menurutmu begitu?”

“Kalian saling mencintai, bukan?”

Getar itu lagi. Ada apa? Aku menatap matanya.

"Henny?’

"Iya?!”
"Sudah kuduga.” Nanar matanya menerawang.

Oops, apa barusan aku menjawab iya? Aku kan sayangnya sama Arya.

Aku harus bagaimana?

Kenapa aku bisa merasa sangat nyaman terlindungi saat bersama dengan Arya bahkan di saat aku sudah resmi menjadi pacar Diandra? Kenapa aku merasa sakit hati dan sangat takut kehilangan Arya sat kulihat dia dengan gadis itu? Kenapa Diandra sangat mencintaiku, sementara itu hatiku selalu tertuju pada Arya?

Suasana kembali senyap.

“Arya…” aku memecah kesunyian. Rasanya ingin kuutarakan perasaanku ini.

Arya mengagkat kepalanya, menatapku. Sorot mata itu.... Aku ingin menangis melihatnya. Sorot mata itu begitu tulus dan tajam, seolah pesan tersembunyi dari si pemiliknya, tapi aku tak bisa mengartikannya.

“Siapa gadis itu?

“Zuraida.”

Arya tidak melanjutkan ucapannya.

Hanya itu? Arya, aku ingin tau, apa artinya dia bagimu.

“Apa dia…?”

“Aku sudah selesai. Aku tidur duluan, ya!” Arya memotong kalimatku dan segera beranjak dari tempat duduknya.

Arya selalu menghindar jika aku sudah bertanya berkaitan dengan kisah kasihnya.

“Arya....”

Arya menghentikan langkahnya. Dia menatapku.

“Have a nice dream, Henny. I’m yours,” Arya melanjutkan langkahnya.

I’m yours? Arya mengucapkan itu padaku? Apa itu berarti…?

*****

Aku berlari memasuki ruangan pernikahan itu. Aku terus berlari disertai rasa ketakutan. Dan seolah jalan yang akan kulalui itu tak berujung. Dan air mata tak dapat kubendung lagi.

Di sekelilingku orang-orang bersuka, mereka tertawa dan berbincang-bincang bahagia. Harum bunga yang tertempel di dinding, memenuhi ruangan itu. Ruanagn yang ditata dengan kombinasi warna putih dan hijau. Tapi, aku tak bisa menikmatinya. Semua itu semakin membuat hatiku perih.

Dan aku terus berlari dan menangis.

Langkahku terhenti. Hatiku semakin perih bagai teriris sembilu. Lewat genangan air mataku, aku masih bisa melihatnya. Dia yang sedang bersanding di pelaminan itu. Arya dan Zuraida. Mereka telah menjadi suami istri.

Hiks... Hiks... Hiks... Arya .

Lalu ada sentuhan lemut yang mampir di pundakku. Kutengok. Diandra. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya sambil terus menatap Arya dengan genangan air mataku.

Arya, aku sayang sama kamu.

Diandra menggenggam lembut tanganku.

Diandra, ma’afkan aku.

Kupejamkan mataku.

Kemudian aku tersentak dan kubuka mataku.

Aku terperanjat. Kuedarkan pandangnkuu ke sekelilingku.


Kamarku?

Aku memejamkan mataku lagi. Dan mencoba mengingat semuanya.


Mimpi.

Ya, yang kusaksikan tadi hanyalah mimpi. Syukurlah.

*****

Jam sarapan tiba.

Aku dan kedua orang tuaku menyantap sarapan dengan nasi goreng sebagai menunya.

“Bagaimana? Henny, mau pergi sama mama-paa atau sama Diandra?” Tanya mama.

“Hmm? Pergi ke mana, ma?”

“Lho?” Mama menatap keheranan pada papa.

“Oh iya, ma. Undangannya kan baru datang kemaren. Jadi Henny sempat lihat lihat.”

“Benar juga. Tapi tentunya Henny sudah tau bahkan sebelu kita mngetahuinya, karena Henny dan Arya kan sangat akrab, tak mungkin Arya tidak menceritakannya pada Heny. Meskipun bagi kita, ini sangat mendadak dan seolah tanpa rencana. Lagi pula Arya baru lulus beberapa mingu yang lalu.”

Mama bicara apa sich? gumamku

“Ini!” Mama menyodorkan sebuah undangan kepadaku.

Aku menerima undangan itu dan segera membacanya.

Apa? Mataku memanas. Dan nafasku tidak beraturan.

Nama Arya dan Zuraida terukir dengan indah di dalam undangan itu. Mereka akan menikah.

“Ma, pa, Henny udah selesai.” Aku segera berlari ke kamarku.

Aku langsung merebahkan diri di tempat tidurku. Kutumpahkan segala kesedihanku dengan menangis.

Arya akan benar-benar menjadi suami Zuraida. Dan mimpi itu sebagai pertandanya, seolah ia mau menceritakannya terlebih dulu agar aku tak bgitu terkejut seperti sekarang ini.

Hatiku sakit. Sakit banget. Bagaimana aku bisa menghadapi ini semua. Membayangkan Arya jauh dariku saja aku tidak sanggup apalagi melihanya bersanding di pelaminan.dengan gadis lain.

Arya, jadi selama ini aku tak berarti lebih dari saudara, bagimu?

Arya, aku telah kehilanganmu. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku sedangkan kau sudah menjadi milik orang lain?

Tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk rupanya.

“Arya.” Kubaca nama di layar ponselku itu.

Aku ingin menerimanya, aku ingin mendengar suara Arya, itu yang selalu membuatku tenang dan nyaman. Dan aku merasa tak bisa berkata apapun pada Arya.


Lama tak ku terima panggilan itu. Dan ponsel itu tetap berdering.

Dengan menguatkan diri, akhirnya kuterima juga panggilan itu.

Sunyi.

Sunyi.

Tetap tak ada yang mulai bicara.

“Henny?” Arya memulai.

Aku hanya menahan tangisku.

‘Henny?”

“Ya, kak Arya?” Tangisku masih bisa kutahan.

“Kamu memanggilku ‘kak Arya’?

Tangisku sudah hampir pecah lagi. Aku ingat, dia akan menjadi suami gadis lain. Zuraida, siapa gaidis itu? Aku ingin berteriak padanya.

“Tidak apa. Henny, aku mau bilang....”

“Bilang apa?” Sahutku pelan yang akhirnya dengan tangis juga.

“Henny, kamu menangis?”

Tak mungkin bisa kujelaskan bagaimana perasaan ku sekarang.


“Henny, Zuraida adalah anak atasankuku sewaktu aku masih kuliah kemaren.....”

“Dan kamu tidak bisa memungkiri kalo kamu telah jatuh cinta padanya?” Desakku dengan sesenggukan.

“Tidak, bukan begitu?”

“Arya, aku selalu menceritakan apapun padamu, sebaliknya kamu, bahkan hal sebesar ini tak kau ceritakan padaku.”

“Henny....”

“Aku sudah menerima undangan pernikahan kalian. Selamat, ya.’
“Henny, malam itu… aku telah mengatakannya pada Zuraida untuk yang kesekian kalinya, ‘aku mencintai Henny’.”

“Apa?” Aku gemetar mendengarnya.

“Dan saat di meja makan, kau mengiyakan bahwa kalian saling mencintai. Lalu apa lagi yang bisa kulakukan? Tadinya kupikir, Diandra bukan orang yang kau cintai, karena itu aku tetap menunjukkan rasa sayangku padamu lewat hari-hari yang kita habiskan bersama. Tapi, ternyata pikiranku salah. Dan Zuraida mengikhlaskan dirinya untuk mendampingiku meskipun hatiku akan selalu tertuju padamu, entah sampai kapan ataukah tak akan pernah berakhir.”

“Arya...?” aku kembali menangis. Tapi kali ini tangisku adalah sebuah tangisan bahagia karena telah kuketahui bahwa cintaku tidan bertepuk sebelah tangan. Arya juga mencintaiku.

Tunggu dulu! Arya bilang aku mencintai Diandra. Jadi ini yang menyebabkan dia mengambil keputusan ini?

“Henny?”

“Ya, Arya?”

Haruskah aku katakan bahwa pria yang aku cintai adalah dirinya? Lalu apakah keadaan akan berubah? Arya tidak akan menikah dengan Zuraida? Jika pernikahan itu dibatalkan, mungkin Zuraida akan sangat sakit hati, karena sepertinya gadis itu juga sangat mencintai Arya? Meskipun kuyakin, cintanya tidak sebesar cintaku pada Arya.

“Henny, do’aku untuk kebahagiaan kalian akan selalu menyertaimu.”

Tanpa kusadari, tak ada lagi air mataku yang mengalir lewat sudut mataku.

“Arya, beruntung sekali kamu karena telah mendapatkan gadis setulus Zuraida. Dan aku yakin dia sangat mencintaimu dan akan bersedia selalu berada di sampingmu.”

“Henny, boleh kutanyakan satu hal lagi?’

Aku tak menjawab.

“Kamu bahagia dengan Diandra? “Tanyanya terbata-bata

“Jika hal itu bisa membahagiakan Diandra dan Zuraida, maka jawabannya adalah ‘ya’.”

Dapat kurasakan keterkejutan Arya di ujung telepon sana.

“Maksud kamu, aku telah salah paham? Kau juga mencintaiku kan? Iya kan, Henny?” Arya terdengar sangat senang diketerkejutannya ini.

Aku tak menjawab, karena itu memang benar.

“Henny, aku akan bilang pada Zuraida bahwa kita saling menyayangi dan aku akan….”

“Tidak, Arya. Itu tidak mungkin.”

“Tak ada yang tak mungkin, Henny.”

“Zuraida dan Diandra, rasanya aku tidak bisa membayangkan , bagaimana jika mereka mngetahui ini.”

“Tapi kita berhak bahagia, Henny.”

“Dan mereka juga berhak bahagia.”

“Dengan mengorbankan perasaan kita?”

“Pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan, Arya. Undangan kalian sudah tersebar. Apa kata mereka jika tiba-tiba dibatalkan? Belum lagi dengan keluarga kita dan keluarga Zuraida. Dan Zuraida….”

"Tapi, aku ingin bersamamu.”

Kenapa sekarang keadaannya terbalik? Biasanya Arya yang selalu bersikap lebih dewasa dan aku hanya bisa merengek.
“Aku juga ingin bersamamu. Tapi aku tidak tau bagaimana harus menjalani ini semua.’
Tak kudengar suara dari ujung sana. Kurasa dia sedang memikirkan perkataanku tadi.
Setelah beberapa menit yang disertai sebuah kesenyapan.
“Henny, aku akan selalu menyimpan dan memupuk rasa sayangku padamu ini. Dan benar perkataanmu tadi.”

Syukurlah Arya sudah memahami keadaan kami sekarang.

“Boleh kuminta satu hal padamu?”

“Apa?”

“Kuminta kau juga melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan___ menikah dengan Diandra dan kau berjanji untuk selalu menyimpan dan memupuk rasa sayangmua padaku.”

Arya, tanpa kau pinta pun, aku tidak akan pernah bisa bepindah hati pada orang lain, meskipun orang itu Arya.

Aku tersenyum hambar.

“Kau tersenyum, Henny? kita sepakat!”

FIRST LOVE vs TRUE LOVE

Reyna terpaku dalam diam. Meratapi keraguan pada semua kenyataan yang telah dilaluinya. Lalu, selalu dia mencoba untuk meyakininya. Di kesunyian ini dicurahkannya segala asnya. Reyna mencoba tetap di tempat ketika ketenanngannya mulai terusik.tapi, Reyna tak bisa, tetap saja tempatnya bergeser perlahan.

Reyna menengadahkan kepalanya. Ditemukannya bintang yang sedang bertebaran. Dan didengarnya sebuah bisikan, Semangat! Lalu, dilemparkannya pandangan ke arah seberang.

Oo…itu bukan bintang favoritnya, tapi bintang hatinya. Tak ada yang tahu. Sejak pertama kali melihatnya, seketika tubuh Reyna mematung, jantungnya berdebar kencang, dan matanya menatap tak lepas dari cowok itu. Dia tinggi, hitam manis, berwajah tirus yang tampan, senyum manisnya, juga mata elangnya yang begitu teduh. Seketika Reyna menundukkan kepalanya. Reyna begitu menaggumi dan menyukai cowok itu. Hari-hari Reyna sering ditemani dengan pikiran tetangnya. Bayangan wajahnya sering menghampiri mimpi Reyna. Mungkin inilah cinta.

Cowok itu bukan siapa-siapa. Dia bukan anak band sang idola. Dia bukan pemain basket yang bisa slum dunk dengan sempurna. Dia bukan pemain bola sang bintang lapangan. Dia bukan seseorang yang dikenal lewat keahliannya di bidang musik, ataupun olahraga.

Dia hanya seorang Fariz, salah satu anggota teater. Dia tak pernah memainkan peran utama. Meski begitu, ketiadaannya di atas pentas tentunya akan sangat menebar kehampaan bagi temannya-temannya satu teater dan para penikmat teater SMA ini.

Tapi, bagi Reyna, semuanya karena cinta itu sendiri yang telah memilihnya. Wajah cutenya, senyum ramahnya, tatapan hangatnya, dan sikap bersahabat yang selalu dibaginya pada semua orang, merupakan suatu kelebihannya di mata Reyna.

Reyna bisa saja menggunakan keberaniannya untuk mendekati Fariz. tapi keberaniannya itu harus dipendamnya sendiri. Fariz bukan sang idola yang selalu dielu-elukan fansnya. Juga bukan bintang lapangan yang dibanggakan semua orang, lalu dijadikan idola. Dia adalah seorang Fariz yang memiliki sikap sangat bersahabat yang selalu dikelilingi oleh tema-temannya dimanapun dia berada.

Reyna bisa saja melakukan pendekatan dengan Fariz, tapi Reyna tak ingin mencintai dengan cara seperti itu dan dia juga terlalu malu untuk mendekati Fariz sementara cowok itu selalu bersama teman-temannya. Reyna ingin mencintai dengan tulus. Membiarkan cinta yang telah memilihnya itu sendiri yang akan menentukan dan membuka jalannya selanjutnya. Lalu, membiarkan segalanya mengalir searah aliran air. Lalu diam untuk menikmati kekagumannya terhadap Fariz, meski hanya dalam diam.

“Hei!” Di sini rupanya. Chika, sahabat Reyna menepuk pundaknya lalu duduk di samping Reyna.

Reyna tersenyum pada Chika.

Pantesan kamu betah di sini. Karena dari sini langitnya terlihat sangat indah, bukan? Ucap Chika sambil menengadah kagum. Reyna pun mengikutimya. Tebakna Chika memang benar. Tepatnya itu adalah salah satunya.

Reyna dan Chika sudah bersahabat sejak kelas satu SMP. Keduanya telah saling mengenal kepribadian masing-masing. Telah banyak hal yang telah mereka bagi bersama. Entah kenapa, Reyna belum menceritakan tentang perasaannya terhadap Fariz.ada sebuah kebimbangan di sudut sanubarinya.

Lalu, Reyna kembali mengalihkan pandangan ke arah seberang. Fariz masih duduk di situ. Bersama teman-temannya, dia bersenda gurau dan bernyanyi. Nyanyian yang mereka lantunkan diiringi oleh dentingan gitar yang dipetik oleh Rizal, salah satu idola di SMA mereka.

Yang Reyna tahu, Fariz dan Rizal adalah teman satu kelas. Mereka tampak cukup akrab. Entah sahabatan atau tidak.

Rizal memang tampan dan keren. Dengan badan atletisnya yang tinggi dan rambut cepak. Rizal tampak selalu memakai topi plus handband, dan dia memang tampak selalu keren dengan stylenya yang gaul abis itu. Selain sebagai siswa di SMA itu, Rizal juga dikenal sebagai gitaris plus vokalis solo yang suara dan permainan gitarnya bikin cewek-cewek kasmaran sama dia. Dia sering tampil di berbagai acara di sekolah ataupun diundang oleh sekolah lain. Selain itu, Rizal juga ikut di club basket. Dan permainan basketnya top banget deh.

Sempat terpikir oleh Reyna, Rizal mengingatkannya dengan seseorang, tapi dia tidak pernah punya teman ataupun hanya sekedar kenalan yang juga bernama Rizal.

Kadang Reyna merasa tak percaya diri dengan perasaannya terhadap Fariz. reyna hanyalah gadis biasa. Dia bukan gadis populer. Dia hanyalah gadis dengan ambut sebahu, bertubuh tinggi dan putih, dan wajah yang kalah cantik jika dibandingkan dengan gadis-gadis bak model yang ada di SMA-nya. Meski begitu, Reyna akan tetap pada pendiriannya, membiarkan semuanya mengalir seperti air.

Malam ini, Reyna dan teman sekolahnya yang lain, sedang mengikuti perkemahan sabtu minggu di sebuah tanah lapang di bumi perkemahan. Di sekelilingnya didapati semak belukar dan pohon-pohon tinggi yang besar.

“Rey, kalo diprhatiin lagi, Fariz itu keren juga, ya.”

Oops, Reyna lupa. Di sampingnya kan masih ada Chika.

Dan Chika sedang melihat ke arah Fariz juga rupanya.

“Maksud kamu?”

“Reyna, walaupun kamu gak cerita, aku tetap bisa melihatnya dari tatapan kamu ke Fariz.”

“Hah?” Reyna terperanjat..

Benarkah kata-kata Chika barusan? Ternyata meskipun mulutnya tak bicara, matanya yang menceritakan tentang Fariz di hati Reyna pada Chika. Dan Chika dapat menangkap semua pesan itu.

“Rey, aku kagum sama kamu. Karena kamu bisa mendiamkan perasaan itu dalam waktu yang cukup lama.”

Oh, jadi Chika sudah lama mengetahuinya.

“Aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan setiap kali kamu memikirkan Fariz, Rey,” kata Chika dengan gamang.

Reyna kaget dan spontan bertanya, “Apa kamu sedang jatuh cinta?”

“Eh?“ Chika jadi salah tingkah dengan memelintir rambutnya. “Siapa bilang!”

“Terus, koq kamu koq kamu juga bisa merasakannya?”

Bola mata Chika berputar sebelum ia menjawab pertanyaan Reyna. “Kita kan best friend forever.” Kilahnya sambil mergkul punda Reyna dan tersenyum.

Reyna membalas senyum Chika.

Tapi, perasaan Reyna begitu kuat, pasti Chika juga sedang jatuh cinta. Dengan siapa, ya? Dan kalo itu benar, kenapa Chika tak menceritakan hal itu padanya. Ah, mungkin Chika sedang bimbang.

“Tapi, kenapa bukan Rizal, Rey? Dia kan lebih keren, populer pula.”

Rizal? Kenapa tiba-tiba topik pembicaraan berubah? Oo… mungkinkah Rizal yang telah membuat Chika bimbang seperti sekarang ini? Tapi….

“Entahlah. Bukankah kita tak bisa mengatur, kan ke hati siapa Miss cupid menembakkan panah amornya? Dan kita juga tak bisa menuliskan sendiri, nama siapa yang ada di panah itu?”

“Hmm… So sweet…”

Reyna jadi ingat tentang di saat masa kecilnya. Ketika bertemu dengan cowok yang pertama kali membuat Reyn agelisah karena memikirkannya. Dan Reyna berpikir bahawa Itu adalah cinta pertamanya. Suatu ketika Reyna begitu sedih saat cowok itu tak lagi bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Tapi setelah bertemu denga Fariz, Reyna baru menyadari arti sebuah a true laove. Fariz lah orang itu, yang telah menjadi true lovenya Reyna. Meskipun begitu, Reyna tak pernah bisa melupakan cowok first lovenya itu.

“Rey, gimana kalo kita masak mie instan?” Usul Chika.

“Oke, aku juga udah lapar nih. Gimana kalo aku yang nyari rantingnya dan kamu yang ngambil airnya.”

“Deal!”

Keduanya pun langsung beranjak dan berpisah sesuai dengan tugasnya masing- masing.

Reyna melangkah memasuki hutan, hanya beberapa meter dari tendanya, jadi Reyna tidak perlu takut.

Reyna pun mulai memunguti ranting-ranting kering.

“Hai!”

Sepertinya ada suara. Tapi suara siapa? Gak mungin Chika, karena suarnya seperti suara cowok. Apa mungkin suara hantu? Hiii… tapi bulu kuduk Reyna gak merinding koq.

Reyna pun memberanikan diri untuk menengadah ke arah suara itu.

“Hai” Sahut Reyna. Rizal rupanya.

“Kamu berani juga, ya, sendirian di tempat seperti ini.”

Reyna tersenyum. “Kan dekat dengan tendaku juga.”

“Aku bantuin, ya!”

Tak sempat Reyna menolak, Rizal suda langsung ikutan memunguti ranting-ranting kering. Sebenarnya lumayan juga, ditemenin nyari ranting, biar lebih cepat.

Tak lama kemudian Rizal dan Reynna sudan mengumpulkan cukup banyak ranting kering. Lalu keduanya pun menyudahi pencarian mereka dan kembali ke tenda Reyna.

“Thank’,s ya!” Ucap Reyna setibanya di depan tendanya dan Ingin diraihnysa ranting-ranting yang dipegang oleh Rizal.

Tapi, sudah keburu Rizal jongkok dan menyusun ranting-ranting itu di atas tanah. Lalu, Rizal membuat api.

Dan akhirnya, Reyna hanya bisa ikutan jongkok sambil memandangi Rizal. Dia gente banget dan memang keren abis. Rizal juga mengambil cerek yang sudah berisi air yang ada di depan tenda. Ternyata Rizal baik juga, meskipun mereka gak pernah ngobrol sebelumya.

Chika ke mana, ya? Cerek plus airny asudah datang, tapi koq orangnya yang ngambil malah gak ada.

Dan kenapa juga Rizal tiba-tiba nyamperin dan membantu Reyna, ya? Lagi pula Reyna tidak sekelas dengan Rizal. Reyna tau Rizal nama Rizal juga dari teman-teman yang sering ngegosipin dia. Itu tuh__ para kaum hawa yang naksir Rizal.

Menatap Rizal sedekat ini semakin membuat Reyna ingat dengan seseorang. Sepertinya orang itu pernah dekat dengannya

Saat api sudah menyala, Rizal tidak langsung pergi. Cowok itu mengambil posisi duduk di samping Reyna. Dia menatap lurus ke depan.

“Kamu sudah berubah, Re!”

“Hah?” Tanpa sadar bibir Reyna sudah membentukhuruf O. apa maksud kata-kata Rizal tadi? Rizal bicara seolah mereka sudah saling kenal satu sama lain.

“Iya.” Rizal berpaling menatap Reyna.

Tapi Reyna langsung menundukkan kepalanya, tidak mau beradu pandang dengan Rizal.

“Dulu kamu adalah gadis yang paling ceria dan bersemangat yang pernah kukeanl. Suka lari-lari lagi.”

Apa? Maksud Rizal apa sih? Reyna benar-benar tidak mengerti.

“Tapi, sekarang kamu sudah menjadi gadis yang pendiam dan anggun. Tapi gak apa, karena bagiku kamu tetap gadis yang istimewa.”

Rizal, please deh, kalo bicara itu jangan setengah-setengah.

“Re!” rizal memegang kedua pundak Reyna tatap mataku.

Rizal, kamu kenapa sih? Megang orang sembarangan. Reyna ingin berontak, tapi Reyna tak mampu mengerakkan badannya, kecuali kepalanya yang terangkat dan maanya yang menatap mata Rizal.

“Jangan bilang kamu lupa denganku!”

Re__ dari tadi Rizal menyebutnya dengan sebutan itu. Dulu juga ada seseorang yang memanngilnya dengan sebutan itu. Rizqi__ dia orangnya, cowok first love Reyna. Tapi sekarang yang berada di epannya bukan Rizqi melainkan Rizal.

Reyna tidak yakin. Dan entah kenapa, Reyna seolah bisa melihat kembali wajah Rizqi. Mata itu__ tatapan usilnya. Dan raut wajah itu__???

“Si__ siapa kamu?”

“Jadi kamu benar-benar sudah melupakanku?” Rizal melepaskan pegangannya dari pundak Reyna. Dan dia menjadi tampak begitu lamah.

Sementara itu, Reyna terus menatap Rizal lekat-lekat.

Hening.

“Dulu juga ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan ‘Re’. dan hanya dia yang memanggilku dengan sebutan itu. Mana bisa aku melupakannya.” Reyna mengingat masa kecilnya.

“Jadi kamu masih mengingatku?” Rizal menjadi lebih bersemangat dan dengan serta merta, dia menatap Reyna dan menggenggam kedua tangannya.

“Kamu bukan Rizqi! Kamu Rizal!” Reyna berusaha melepaskan genggaman Rizal. Dan tak bisa karena genggaman itu begitu kuat.

“Aku Rizqi, Re. rizqi Rizaldi. Kamu masih ingat kan, dulu kita pernah jalan bareng ke sawah, melihat padi yang masih menghijau. Apa yang pertama kali kamu ucapkan? I love green!”

“Apa?” Sejenak Reyna terhenyak.

Jadi Rizal adalah Rizqi, cinta pertamanya.semuanya memang mengarah pada tentang Rizqi. Mata Rizal, ceritanya, dan panggilan khasnya terhadap Reyna. Bahkan Rizqi masih mengingat kata-kata itu. Reyna senang bisa bertemu lagi dengan teman dari masa kecilnya, apalagi oarang itu adalah first lovenya.

“Sejak kapan kamu mengetahuinya?” Tanya Reyna.

“Sejak pertama kali melihatmu aku sudah dapat menebaknya. Dan Chika sudah banyak membantuku.”

Chika? Sesuatu terbesit di benak Reyna.

“Semuanya berkumpul! Acara api unggun akan segera dimulai!” Seseorang memberi komando lewat pengeras suara.

Dan pengumuman itu bertepatan dengan mendidhnya air yang dimasak oleh Reyna dan Rizal.

“Re, aku tetap sayang sama kamu meskipun kita sudah lama terpisah. Kamu mau gak jadi pacarku?”

Aduh, Rizal__ bukan__ Rizqi, kalo mau nembak cewek, cari tempat, waktu, dan situasi yang tepat plus romantis dulu donk.

“Rey, kita ke depan yuk!” Tiba-tiba Chika sudah ada di depan Reyna dan tanpa komando, langsung menarik tangannya.

Langkah Reyna pun terseret mengikuti Chika tanpa sempat mengucap pamit pada Rizqi. Dan Reyna dapat melihat raut kekecewaan di wajah Rizqi..

*****

Rizqi adalah cowok first love Reyna. Meski saat itu mereka berdua hanyalah sebagai teman dekat. Yang kemudian pertemanan itu terputus karena Rizqi pergi tanpa memberi kepastian pada Reyna. Dan sekarang__ Rizqi yang dikenal Reyna sebagai Rizal kembali untuk menyatakan perasaannya pada Reyna, tepat di saat hati Reyna telah tertuju pada Fariz. Dan Reyna tau, Rizqi tulus.

Bagaimana mungkin Reyna bisa melupakan begitu saja perasaannya sekarang terhadap Fariz. dan Reyna juga tidak bisa melupakan Rizqi sebagai cinta pertamanya, kenangannya dari masa kecil. Ya, sekarang Rizqi tak lebih dari sekedar kenangan bagi Reyna.

“Reyna!”

Reyna tersentak kaget.

“Acaranya udah selesai. Kita balik ke tenda yuk!” Ajak Chika.

Reyna mengedarkan pandangn ke sekeliling. Benar, teman-teman sudah mulai bubar untuk kembali ke tendanya masing-masing.

Di sudut sana, lama Fariz memperhatikan Reyna.

Reyna mengangguk pada Chika. Keduanya pun kembali ke tenda mereka.

Setibanya di depan tenda…

“Re!”

Chika langsung berpaling ke arah suara itu. Dan dengan ragu, Reyna pun begitu. Di depan Reyna berdiri dua cowok yang saat ini sedang dipikirkan oleh reyna, Rizqi dan Fariz.

“Hai! Gimana, Re?” Tanya Rizqi bersemangat.

Reyna diam. Dia yakin dengan perasaannya terhadap Fariz. tapi, bagaimana caranya untuk menolak rizqi?

“Reyna, aku pengen tau jawaban kamu.”

Reyna tersenyum ragu pada Rizqi sambil melirik Fariz dan Chika. Chika tampak sedih dan Fariz tampak itak mengerti.

“Apa itu artinya ‘iya’?” Desak Rizqi

“Hah? Bu….””

“Ada apaan nih? Apa yang sedang kalian bicarakan? Rizal, jadi kamu sudah berteman dengan Reyna? Bukannya kita mau nemuin Pak Willy?”

Reyna kaget. Ternyata Faris tau namanya. Tidak disangka.

“Oh iya, aku sampe lupa cerita ke kamu, Riz. Reyna ini cinta dari masa kecilku yang pernah aku ceritain ke kamu. Dan tadi aku udah nembak dia. Terus sekarang aku mau tau jawabannya. Jadi ketemu Pak Willynya ditenda dulu, ya.

“A___apa?”

Rizqi Rizaldi mengangguk penuh percaya diri.

Fariz menahan perasaannya. Digenggamnya dengan kuat kepalan tangannya. Dan sorot matanya memancrakan kekecewaan dan kemarahan.

Reyna dan Chika saling andang tidak mengerti. Terlebih lagi Rizqi.

“Kalo gitu, gue duluan!” Fariz melangkah menjauh.

Kepergian Fariz diiringi oleh Reyna dengan tatapan keheranan.

“Re….” Rizqi menatap Reyna lekat-lekat.

Reyna harus menjelaskannya pada Rizqi. Ma’afkan Reyna, Qi!

“Rizqi, kuakui kamu memang cinta pertamaku. Dan aku gak akan pernah bisa melupakan cinta pertamaku ini. Aku mengerti perasanmu terhadapku. Dan aku juga yakin dengan perasaanku saat ini. “

“Maksud kamu?” Ada nada ketakutan dalam suara Rizqi.

“Rizqi, aku gak bisa membohongi diriku sendiri, apalagi dirimu. Sebenarnya___ saat ini….”

“Ada orang lain di hatimu?” Rizqi menebak pikiran Reyna.

Reyna terdiam. Rupanya Rizqi dapat mengerti ucapannya tadi.

“Huh!” Rizqi membuang nafas kecewa. Rasanya sangat menyakitkan, mengetahui cewk yang ditunggu dan dicarinya selama ini tak lagi mengharapkan dirinya. “Benarkah itu?”

Reyna tetap diam.

“Diam berarti ‘ya’.” Rizqi dapat memahaminya. Selama ini posisi kamu di hatiku tidak pernah diisi oleh gadis lain, Re. dan bisa kupastikan itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.

Air mata Reyna menetes. Sebegitu besarnya kah perasaan Rizqi terhadapnya? Dia tidak mau menyakiti Rizq, tapi dia juga tidak mungkin bersama dengan orang yang tak mengisi hatinya. Tapi, kenapa dulu kamu ninggalin aku?

Rizqi tetap tenang. Meski kekecewaan semakin menywlimuti dirinya.

“Jadi itu keputusanmu saat ini?” Ada sebuah harapan yang tersirat dari ucapan itu.

Reyna menunduk sambil terisak.

Sementara itu di sudut sana, Fariz sedang memperhatikan Reyna dan Rizqi dengan kekhawatiran yang amat besar.

Chika menggenggam tangan Reyna, berharap dapa tmemberikan kekuatan.

“Re, aku tidak bisa menerima keputusanmu ini. Dan aku akan berusaha agar kamu dapat merubah keputusanmu ini. Aku akan terus berusaha, Re.”

Rizqi pergi menjauh. Dia sangat kecewa. Tapi Rizqi sudah bertekad tidak akan berhenti hanya sampai di sini.
“Ma’afkan aku, Qi.”

Chika merangkul pundak Reyna. Dan mengajak Reyna untuk melangkah menuju tenda mereka.

Setibanya di tenda, Reyna lengsung merebahkan dirinya. Lama Reyna terpaku pada ingatannya tentang Rizqi, cinta pertamanya yang harus tersakiti karena sekarang hati Reyna sudah terisi dengan nama Fariz.

*****
Ketika bangun tidur eok paginya, Reyna meras tidurnya yang tak lebih dari dua jam itu jauh lebih nyenya daripada biasnya. Entahlah. Padahal dia baru saja mengalami peristiwa yang cukup sulit.

“Rey, tadi malam aku benar-benar kaget. Untungnya aku gak syok. Ternyata Rizal mencintaimu. Jadi selama ini dia deketin aku untuk mencari tau tentang kamu.” Chika berujar.

“Rizqi deketin kamu?”

Chika mengangguk dengan sedih.

Rupanya tadi malam adalah saat-saat yang cukup sulit, bukan cuma bagi dirinya dan Rizqi yang, tapi juga bagi Chika.

“Chika…”

“Aku gak apa-apa. Masih ada banyak waktu koq. Masih ada waktu dan kesempatan kan?”

“Chika, ma’afin aku!”

“Ini bukan salahmu. Sama seperti Rizqi, aku juga akan terus berusaha.”

Kedua sahabat ini pun saling memberi senyum.

Rasanya senyum saja tidak cukup untuk melukiskan kekuatan dan keindahan persahabat Reyna dan Chika.

“Hei!” tegur Chika. “Tadi malam kita kan gak jadi makan. Air panasnya juga sudah dingin. Jadi kita mesti masak air lagi untuk sarapan pagi ini.”

“Oh, iya.”

“Karena ranting keringnya masih cukup, kamu saja yang ngambil airnya, ya?”

Reyna mengerlingkan matanya sambli tersenyum sebagai tanda setuju.

Setelah berpakaian dengan rapi, Reyna pun melangkah menuju air terjun yang tak jauh dari perkemahan mereka.

Di tengah jalan, Reyna berpapasan dengan Rizqi. Dan Rizqi bersikap sangat manis dengannya.

“Selamat pagi, Re! gimana tidurnya? Nyenyak?“ Sapa Rizqi.

Reyna tersenyum ragu, “Iya.”

“Mau ngambil air? Biar aka temenin, ya?”

“Terimakasih. Aku gak mau merepotkanmu.”

“Oke. Hati-hati, ya!” Rizqi tersenyum sebelum berlalu.

Rizqi…., Reyna membatin.

Setibanya di sisi bawah air terjun, Reyna bergerak menginjak bebatuan. Dan dia melangkah dengan perlahan, karena tampaknya batu-batu itu cukup licin.

Tapi, tiba-tiba….

“Ah!” Tanpa disadarinya, Reyna menginjak batu yang licin dan tergelincir. Hampir saja terjatuh. Untungnya ada seseorang yang dengan sigap mmegangi tangannya, menahannya agar tidak terjatuh di sungai itu. Dengan masih ketakutan dan kaget, Reyna mecoba untuk membuka matanya.

“Fariz?”

Fariz berdiri di hadapannya sambil memegang kedua tangannya.

Lama Reyna dan Fariz saling bertatapan. Antara tatapan keheranan, senang, dan bahagia.

“Sorry!“ Ucap Fariz dan dengan segera melepaskan tangannya setelah membantu Reyna membenarkan letak badannya.

“Terimakasih!” ucap Reyna dengan tersipu.

Keduanya jadi sama-saam salah tingkah untuk beberapa saat.

“Selamat, ya!” Ucap Fariz.

“Selamat? Untuk apa?”

“Selamat atas jadiannya kamu dengan Rizal.”

Reyna jadi ingat kembali kejadian tadi malam dengan begitu detail. Mulai saat Rizal mencoba mengingatkannya denag teman di masa kecilnya, Rizqi. Penjelasan Rizal bahwa dirinya adalah Rizqi. Ketika Rizal menyatakan perasaannya terhadap Reyna. Ketika Reyna harus jujur dengan menolak Rizal. Bagaimana besarnya kekecewaan yang dirasakn oleh Rizal lewat ucapannya. Dan tentang cinta pertamanya dulu. Dan tentang Fariz… lalu, tanpa terasa air mata Reyna menetes.

“Kamu menangis?”

Reyna tak bergeming.

“Apa yang telah terjadi? “Tanya Fariz. senag sekali bisa bicara berduaan dengan Reyna.

“Aku gak jadian dengan Rizqi, maksudku Rizal.” Sejenak Reyna merasa sangat bersalah dengan Rizqi bagaimana mungkin saat ini Reyna bisa menerima seseorang yang bukan Fariz? “aku tidak bisa bersamanya.”

“Apa kamu sedih karena itu?”

Reyna menggeleng. “Aku merasa bersalah karena udah nyakitin Rizqi, tapi aku juga gak mungkin bisa membohonginya dan perasaanku sendiri dengan menerimanya ah…”

Tiba-tiba hujan mendera, turun membasahi bumi.

Reyna dan Fariz pun serentak berlari mencari tempat untuk berteduh. Mereka berlindung di bawah pohon besar yang cukup rindang.

Fariz segera melapskan jaketnya. Lalu digunakannya untuk memayungi dirinya dan Reyna.

Keduanya saling bertatapan seoalah mengutarakan perasaan masing-masing.

Biarkan waktu berhenti. Biarkan keadaan tetap seperti ini. Bisa selalu bersama dengan orang yang dicintai.

Semoga ini merupakan awal yang indah. Dan semoga hari-hari berikutnya akan lebih baik dari hari ini.

MA'AF, TAPI AKU HANYA INGIN KAMU TAU

Sebel... Sebel… Sebel…. Nyebelin banget sich tuch orang! Pacaran doang pake dipamerin segala. Kenapa sich? ndeso banget! Dasar katro! Emang gue belum tau apa, Kalo dia udah pacaran? Gue udah tau kalie… malah udah sejak awal mereka jadian.

Iiih… nyebelin! Emang harus ya, mesra-mesraan di depan gue!? Pake sambil ngelirik gue lagi. Pamer banget. Kenapa sich mesti pamer di depan gue?! Apa karena sampe sekarang gue belum juga punya pacar? Emangnya kenapa kalo gue belum punya pacar? Apa urusan dia? Pacaran? Gak penting banget! Biar jomlo, tapi gue kan tetep eksis. High quality jomblo gitu lho.

Oi, cowok paling nyebelin sedunia, camkan, gue jomlo bukan karena masih mikirin loe apalagi sampe ngarepin loe lagi. Karena gue belum mau pacaran aja. Gue pengen bebas. Dasar cowok nyebelin!

Gue heran, koq sekarang dia selalu ada di manapun gue berada (di sekolah). Bayangin aja, masa’ tuch cowok curhat tentang pacarnya sama temen sebangku gue, waktu gue ada lagi, plus pake suara yang nyaring. Apa maksudnya, kalo bukan mau pamer sama gue.

Sekarang gue mesti mikir nich, gimana caranya ngasih pelajaran sama tuch cowok, biar dia kapok.biar dia tau dan nyadar, kalo gue bukan cewek lemah yang menyesali kepergiannya. Dan dia harus tau, perasaan ynag duku pernah ada di hati gue untuk dia , gak akan pernah terulang lagi sejak dia mutusin gue tanpa sebab dan alasan sampai kapanpun.

Aha! Gue punya ide.

Hmm… tapi gue agak ragu nich, apa gue bisa melakukannya, ya. Nanti apa kata temen-temen? Ngasih Ricky pelajaran tapi digosipin temen-temen atau lupain semua itu dan diam sambil melihatnya yang terus-terusan pamerin ceweknya di depan gue?__ kayaknya gue lebih milih yang pertama dech. Karena gue gak mau dianggap lemah sama cowok kayak dia. Tentang gosip, biar gue sandang sementara. Dan karena sekarang gue emang lagi sebel banget sama dia. Gue bakal bikin dia bener-bener terpuruk dan nyadarin kemampuan gue.

Hei Ricky, cowok yang super nyebelin sejagad raya, tunggu aja aksi gue.

*****
Pagi yang cerah mengiringi langkah awal rencanaku. Aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar. Aku pun berangkat ke sekolah dengan setumpuk rencana yang udah kususun dari tadi malam.

Aku pun menjajari langkahku di koidor sekolah dengan begitu optimis.


Setiap orang yang berpapasan denganku pasti akn mendapatkan senyum termanis yang kumiliki.

Aha… itu dia! Ricky berdiri tepat di depan kelasku. Tumben datangnya pagi, telat kan udah jadi langganannya. Aku berhenti sebentar untuk mengawasinya sejenak. Koq ngomong sendiri sich? di sampingnya kan gak ada satu orang pun. __ oh, lagi nelpon, ya.

Oke. It’s show time! Saatnya beraksi.

Aku bergegas merogoh buku pelajaran Bahasa Inggris dalam tasku. Lalu pura-pura membacanya sambil jalan.

“Buukk!”

“Aduh!” Aku ambruk ke lantai.

“Eh, kalo jalan tuch pake mata donk!” Makinya

Ih, beraninya dia marahin gue.

“Di mana-mana kalo jalan tuch pake kaki tauk! Bukannya bantuin gue, eh malah marah-marah.”

“Emang kenapa sich, jalan doank koq bisa sampe nabrak?” Lalu dia bicara lagi melalui ponselnya. “Sayang, sorry ya, ada sedikit gangguan nich.”

“Loe kan tau gue lagi baca, seharusnya loe yang mundur donk!”

“Lagian kenapa juga baca sambil jalan?”

“Suka-suka gue, mau baca sambil jalan, sambil jongkok, sambil ngapain kek, itu bukan urusan loe!” Aku pun berusaha berdiri.

“Aww!” Aku pura-pura merintih dan terduduk lagi.

“Kenapa, Din?” Suara Ricky terdengar agak cemas.

“Kenapa! Kenapa! Sakit tauk!”

“Sayang, udah dulu, ya,” Ricky memutus telponnya, lalu jongkok di sampingku. Ricky menggapai tanganku, mencoba membantuku untuk berdiri.

“Ngapain loe!?” Aku berontak

“Katanya sakit, gak bisa berdiri sendiri. Makanya gue mau bantuin nich. Emang loe mau, anak-anak lihat loe yang lagi terkapar di sini? Gak kan? Sini gue bantuin.’

‘Siapa bilang gak bisa berdiri! Gue bisa koq!” Aku mencoba berdiri lagi, tapi terduduk lagi sambil meringis kesakitan.
“Tuch kan masih sakit, gak bisa berdiri. Sini gue bantuin,” Ricky kembali berusaha memegang tanganku dan berusaha membantuku.

Ricky memapahku sampai ke kursiku dan membantuku duduk. Lalu Ricky berjongkok di depanku, memeriksa kakiku.

Ricky, loe serius mau bantuin gue? Kenapa? Seharusnya loe gak usah bantuin gue karena ini cuma salah satu trik gue buat ngejebak loe.

‘Mau ngapain loe?!”

‘Gue cuma mau meriksa di mananya yang sakit.”

Ricky, kenapa loe jadi perhatian gini sama gue?

‘Gak usah, gue bisa sendiri koq. Thanks!” Kupelankan suaraku.

“Bener? Gimana kalo kaki loe….”

“Iya.” Koq aku jadi salah tingkah gini, ya?

“Oke. Tapi kalo ada apa-apa, kasih tau gue, ya!” Pesan Ricky. Dia pun berdiri dan berlalu menuju kursinya.

Sepeninggal Ricky, aku mencibir ke arahnya. Dan hatiku langsung bersorak ria. Rasanya pengen banget lonjak-lonjak, tapi gue kan lagi pura-pura keseleo. Yes, umpan pertamaku udah dilahap oleh Ricky. Tapi, sikap Ricky barusan manis banget. Dulu dia gak pernah seperhatian ini sama gue.__ gak__ gue gak boleh luluh hanya karena perhatian palsu dari Ricky barusan.

Ricky, ini awal kehancuran loe.

Ketika jam istirahat, aku sengaja gak jaajn ke kantin atau ke perpus untuk baca buku. Aku hanya tetap duduk di kursi dengan pura-pura pasang tampang tersiksa karena kakiku yang masih sakit. Dan sengaja pula aku ngambil kertas kosong dan pulpen. Lalu pura-pura mencoret-coret gak jelas di kertas kosong dengan perasan marah bercampur pasrah.

Ini langkah kedua dari rencana gue. Kayaknya sekarang, sikap dan sifat Ricky udah bisa ditebak dengan mudah. Dan gue juga mesti tetep hati-hati. Gak boleh ceroboh. Gak boleh tampak lemah atau terlalu baik sama Ricky. Gue harus jadi lebih tegas. Biar rencana gue ini gak bisa kebaca sama orang lain.

“Din, gak jajan?” Tanya Ricky ketika sudah berdiri di sampingku.

“Udah tau, nanya,” ketusku

“Kaki loe masih sakit, ya?”

Aku menghela nafas panjang, lalu mendengus kesal.

‘Iya__iya, gue tau. Pasti masih sakit. Sorry, ya. Gara-gara gue loe jadi gini.”

Gue tetap diam dengan memasang tampang jutek. Pastinya dalam hatiku lagi tertawa girang karena sekali lagi Ricky makan umpan yang emang gue siapin untuk dia.

Tiba-tiba Ricky berjongkok di depan gue.

Dan gue malah ngebuang muka dari dia.

Gue sadar tatapan aneh dari beberapa teman yang masih di dalam kelas. Dan gue coba untuk gak terlalu memikirkannya. Karena gue harus bisa bikin Ricky jatuh.

“Din, kenapa sich sekarang loe jadi seperti ini? Jutek, judes. Padahal dulu kan loe baik banget.’

Aku tercengang. Ternyata Ricky masih mau mengingat dan membicarakan kenangannya tentang gue. Ah, tidak. Gue gak boleh percaya gitu aja sama Ricky. Kejadian dulu saat bersamanya gak boleh terulang untuk yang kedua kalinya.

‘Gue tau, pasti karena sekarang gue bukan pacar loe lagi kan? Tapi, setidaknya kita bisa jadi temen.”

“Suka-suka gue donk. Loe sendiri, ngapain di sini, sok perhatian sama gue lagi?!”

Ricky, sekarang gue baru tau, sepertinya di hati loe masih ada bayang-bayang tentang gue. Dan mungkin itu sebagai pertanda kalo loe masih sayang sama gue.tapi, sorry ya, gue gak niat tuch. Dan asal loe tau, gue gak bakal ketipu sama kata-kata loe lagi.

‘Din, dulu loe sayang gak sich sama gue?”

What? Gila juga nich cowok. Udah punya pacar, masih aja ngungkit-ngungkit masa lalunya, sama mantannya langsung lagi. Lihat aja, giman amarahnya ceweknya kalo tau, Rickynya kayak gini. Tapi, gak masalah bagi gue. Sikapnya ini malah mempermudah rencana gue. Oke, Ricky, gue ladenin omongan loe.

‘Kalo gak sayang, ngapain juga gue terima loe. Loe? Waktu itu sayang gak sama gue?”

“Pastinya. Gue sayang banget sama loe.”

‘Tapi, kenapa loe malah mutusin gue? Pake alasan mau fokus belajar lagi. Nyatanya loe malah pacaran lagi. Sama Karin pula. Ternyata bener juga gosip temen-temen saat itu.”

“Nah, ketahuan,” goda Ricky. “Loe cemburu kan? Ngaku aja deh.”

Ih, GR banget nich cowok. Seenaknya bilang gue cemburu sama dia. Gak mungkin lah. Gue Cuma masih penasaran aja sama cara pengakhiran hubungan kami saat itu.

“GR banget sich loe!”

“Bukan gitu. Tapi, kenapa sich loe gak pernah nunjukin rasa sayang loe itu?”

“Maksud loe?’

‘Loe kan tau gimana orang yang lagi pacaran. Misalnya aja, kayak gue sama Karin sekarang. Dulu__ kita gak pernah kayak gitu.”

Ih, nich cowok, koq sekarang jadi gini sich. jadi itu alasannya dia mutusin gue. Syukur banget donk. Untung aja kami udah putus. Kalo gak__ gue gak berani membayangkannya.

Rick, karena bagi gue rasa sayang itu begitu suci dan istimewa. Jadi dia harus diperlakukan dengan istimewa juga. Menyayangi dia yang kita cintai dengan manghargai dan perhatian terhadapnya.

“Karena bagi gue, rasa sayang itu terlalu suci untuk diperlakukan seperti itu. Caraku menyayangi seseorang adalah dengan menghargainya dan memelihara rasa sayang itu.”

Sejenak Ricky tercenung. Kuperhatikan air mukanya berubah. Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Mungkinkah dia baru saja mendapatkan gambaran baru tentang gue? Lalu Ricky bangkit dan beranjak pergi.

*****
Semenjak hari itu, hubungan aku dan Ricky jadi lebih dekat daripada kemarin, yaitu selama setahun setelah kami putus.

Sudah dua minggu ini Ricky sering mencoba mendekatiku dengan lebih banyak bicara denganku. Dan kegiatannya yang sok pamer pacar di depanku itupun sudah banyak berkurang. Meski sekali waktu aku juga harus tetap melihat mereka berduaan. Dan sepertinya Ricky juga sudah tidak terlalu mesra dengan pacarnya. Jika kebetlan Ricky dan Karin pun ada di depanku, Ricky pasti langsung salah tingkah plus curi-curi pandang ke arahku. Sperti cowok yang ketangkap basah sedang selingkuh gitu deh.

Syukurlah. Aku merasa beruntung banget dengan perubahan Ricky yang cukup drastis ini. Tentunya hal ini semakin memudahkan jalan menuju puncak dari rencanaku ini. Dan sekarang, Cuma tinggal nunggu Ricky ngomong serius tentang perasaannya kepadaku. Saat itulah puncak dari usaha gue selama sebualn ini, sekaligus akhir dari kepura-puraan gue bersikap jutek dn kadang baik pada Ricky. Dan gue yakin, saat itu akan segera tiba. Gak lama lagi. Ricky, kasihan banget sich loe. Loe itu cuma cowok bodoh yang gak bisa menganalisa masa lalu, khususnya pengalaman loe sendiri. Mestinya loe tau, gak mungkin gue yang udah loe sakitin mau balik lagi sama loe dan harus siap disakiti yang untuk yang kedua kalinya.

“Din!” panggil Ricky yang sudah berdiri di samping tempat dudukku di saat aku lagi asyik privat sama teman sekelasku yang dapat juara 1 pada semester tadi.

Aku jawab panggilan Ricky dengan hanya menoleh padanya.

“Sini bentar dech!” Ricky menarik tanganku menjauh dari tempat dudukku semula.

“Apa-apaan sich loe!” Aku berontak, mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya. “Lepasin gue!” teriakku.

Ricky menghentikan langkahnya. “Sstt….!” Dia menutup mulutku dengan telapak tangannya.

Dan dengan marah, aku langsung berontak melepaskan tangannya.

“Ada yang mau gue bicarain sama loe.”

“Ya, ngomong aja di sini. Jangan pake narik-narik gini donk!”

“Gak. Kita ngomongnya di taman belakang aja.”

Oh, itu toh. Inilah saat yang paling aku tunggu selama ini. ricky pasti mau nyatain perasaannya ke aku. Apalagi kalo bukan itu? Dengan gelagatnya yang seperti ini tentu saja itu.

Akhirnya akan berakhir juga penderitaan aku selama dua minggu ini, dapat pandangan aneh dari teman-teman plus menjawab pertanyaan beebrapa dari mereka tentang aku dan Ricky. “kami Cuma teman koq. Gak lebih.” Akhirnya pengorbananku selama dua minggu ini akan membuahkan hasil yang sangat manis. Semua ini akan segera berakhir dengan kemenangan yang tentunya sudah pasti ada di genggaman tanganku.

Ok, Ricky, kali ini untuk terakhir kalinya aku akan nurut sama kamu. Dan aku pun mengikuti langkah Ricky yang menuju ke taman belakang sekolah.

Satu lagi masalah terakhir yang masih menyesakkan pikiranku. Kalo yang satu ini gak ada, maka habislah semuanya. Sia-sialah seluruh usahaku selama ini. alias nihil!

Masalahnya adalah Karin harus mendengar langsung pembicaraanku dengan Ricky kali ini. tapi, gimana caranya. Gak mungkin aku sendiri yang langsung manggil Karin kan?

Aku mengikuti langkah Ricky dengan gelisah.

Aku mesti mikir nih. Cari cara agar Karin bisa langsung debgerin pernyataan cinta Ricky untukku.

Lalu tiba-tiba aku tersenyum puas. Karena kulihat kelas Karin (XII IPS 3) di depan kami. Dan kami akan melewatinya. Kebetulan ada teman Karin yang lagi duduk di bangku panjang kelas itu sambil ngobrol. Dan sebuah ide langsung tersirat di benakku.

Dengan sengaja ku perlambat langkahku.

Dan ketika Ricky menyadari langkahku yang melambat, dia langsung menghampiriku yang tertinggal cukup jauh darinya dan berbisik, “kamu kenapa?”

“Emang loe mau ngomong apaan sih, Rick? Pake ke taman belakang segala.”

Ricky gak menjawab pertaanyaanku. Dia hanya berucap, Ayo! Ricky pun menarik tangankua.

Sebentar aku menengok ke belakang. Kulihat salah seorang teman Karin langsung melompat ke dalam kelasnya. Dia pasti udah ldengar kata-kataku barusan dan lihat gimana sikap Ricky ke aku. Dan dia pasti akan langsung lapor ke Karin. Dengan begitu tentunya pesan tersembunyiku akan segera tersampaikan.

Setibanya di taman belakang, Ricky langsung duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon jambu air yang rindang dan gak terlalu tinggi itu.

Aku hanya berdiri dengan tampang sok cuek plus agak polos.

” Duduk, Din!” Pinta Ricky dengan lembut.

“Gak. Gue berdiri aja.”

Sebenarnya aku masih agak cemas. Karena Karin belum kelihatan juga. Mataku berpendar berkeliling sambil berharap Karin cepat datang.

Gak lama kemudian, sosok Karin dan seorang temannya sudah terlihat. Keduanya tampak berjalan ke arah kami dengan cepat.

Kulihat Ricky. Dia tampak menunduk..

“Ok.” Aku pun duduk di samping Ricky. “Cepetan lo ngomong!”

Sebentar aku menoleh ke belakang. Karin dan temannya itu sudah gak kelihatan. Mereka pasti lagi sembunyi di suatu tempat yang memungkinkan mereka untuk mendengar obrolan kami.

“Din, aku…. Hmm… aku….. Ricky menghentikan kegagapannya.”

Sebenarnya aku pengen banget ngebentak Ricky biar cepat ngomongnya. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk marah-marah. Aku harus jaga imej juga donk. Lagi pula tampangnya cukup menghadirkan belas kasihan juga. So aku coba untuk diam aja, hanya menunggu dia bicara. Tapi, aku masih tetap pada pendirianku. Aku tetap akan menjatuhkannya. Aku harus tetap bikin dia juga merasakan apa yang dulu pernah kurasakan karena ulahnya.

Aku mencoba tersenyum padanya dan membalas tatapannya dengan teduh.

Ricky menatapku dengan lembut dan penuh arti. Seolah dia tidak akan melepaskanku. Sebuah tatapan yang penuh dengan ketenangan dan tampak tulus. Sebuah tatapan cinta yang penuh pengharapan akan berbalas. Kalo aku lupa dengan misiku, mungkin aku akan kembali lagi padanya karena tatapan itu.

Sebenarnya aku sudah sangat muak dengan semua ini, dengan kepura-puraan ini. kalo aku gak bisa mengendalikan diri, aku hampir saja mengakhiri rencana ini tanpa hasil yang kuharapkan. Dan saat membayangkan hasilnya, aku kembali semanagat untuk menuntaskan rencanaku ini.

“Din, sebenarnya aku…. Aku__ sayang baget sama kamu.

“Hah?” Aku pura-pura terkejut.

“Aku pengen kita baikan, pacaran lagi. Aku janji akan lebih perhatian dan peduli samaa kamu.”

“Kenapa kamu ngomong seperti ini? kamu kan masih punya Karin, Rick!”

“Karin? Sekarang aku baru sadar, kamu jauh lebih baik daripada Krin. Waktu kita pacaran dulu, kamu baik dan perhatian banget sama aku, tapi akunya aja yang cuek dan nyia-nyia’in semua itu. Tapi Karin__ selalu aku yang berusaha menjadi seperti apa yang diinginkannya. Dan aku merasa lebih nyaman saat bersama kamu. Sedangkan sama Karin__ aku selalu hati-hati karena aku takut Karin marah dan gak suka dengan sikapku. Hanya dengan kamu aku bisa menjadi diriku sendiri, Din.”

Yes! Akhirnya Ricky ngomong juga tentang ini. karin, loe denger kan? Loe itu gak ada apa-apanya dibandingin gue!

“Ricky!”

Tiba-tiba Karin keluar dari persembunyiannya dan melangkah menghampiri Ricky. Lalu< plakk!! Karin menampar pipi kanan Ricky.

Aha, inilah puncak dari rencanaku. Ricky, aku puas. Karena bukan Cuma kamu yang hari ini akan hancur, tapi Karin juga. Cewek yang udah ngerebut kamu dari aku. Dia juga akan merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan, Ricky.

Aku tersenyum puas dalam hati.

“Kamu tega ngomong kayak gitu tentang aku! Bentak Karin dengan mata berkaca-kaca. Jadi selama ini kamu nganggap aku apa? Pelarian? Setahu, Cky… setahun kamu bohongin aku.”

“Karin, ma’afin aku!” Ucap Ricky pasrah.

“Ma’af? Ma”af untuk apa? Bilang sama cewek gak tau diri ini kalo loe bohong! Kalo loe Cuma sayang sama gue!”

Ricky hanya diam sambil menatapku dengan teduh.

Sedangkan aku___ tentu saja aku marah dengan umpatannya tadi. Tapi aku gak boleh terpancing. Aku pun hanya menundukkan kepalaku. Gak enak juga, ya, ada diantara pasangan yang lagi berantem. Gerah banget!

“Gak!” Butir-butir air mata Karin mulai menetes di pipinya. Aku sakit, Cky. Sakit banget! Lalu Karin menudingku. “Dasar cewek ganjen! Emang gak ada kerjaan selain godain cowok orang, heh?! Udah gak laku lagi loe!”

Plakk!!

Tak disangka Ricky menampar pipi Karin dengan geram. Kita putus!

Aku gak rela dengan makian Karin barusan. Lalu apa bedanya dia yang sudah jelas-jelas merebut Ricky dariku. Ingin rasanya aku sendiri yang menamparnya. Lalu apa bedanya dia yang sudah jelas-jelas merebut Ricky dariku. Tapi, unutngnya Ricky belain aku dengan menampar cewek itu.

“Jangan pernah ngomong sembarangan tentang Karin!”

Meskipun lagi senang banget, aku pura-pura sedih menerima makian Karin. Kupaksaakn mataku untuk menangis. Biar peranku sebagai cewek yang gan bersalah semakin kuat.

Karin memegangi pipinya yang baru saja ditampar Ricky dengan kaget.

Plakk! Sekali lagi Karin menampar Ricky sebelum dia berlari menjauh.

Sementara itu aku tersenyum puas dalam tangisku.

Karin, gimana? Sekarang kamu sudah tau dan merasakannya sendiri kan? Gimana sakitnuya saat tau cowok yang kamu sayangi sudah berpindah ke lain hati? Sakit banget kan? Itu juga yang aku rasakan saat kamu merebut Ricky dariku. Tapi, aku gak akan melakukan hal yang sama seperti yang pernah kamu lakukan terhadapku. Untungnya dulu, sakit yang aku rasakan gak berlangsung lama, Rin. Karena aku segera sadr kalo Ricy emang gak cocok untukku. Dan sekarang aku malah bersyukur karena sudah terlepas dari Ricky. Aku terinbgat masa pacaran kami dulu yang cuma bertahan satu bulan.

Karin, selamat menikmati rasa sakit hatimu, ya!

Oh ya, aku juga minta ma’af, ya. Kau Cuma pengen kamu juga meraskan apa yang dulu pernah kurasakan, Karin. Biar kita infas. Lagi pula, aku sudah nyelamatin kamu dari cowok yang bernama Ricky ini. berterimakasihlah padaku, Karin.

Dan loe, Ricky… kini giliran loe untuk merasakan sakit yang pernah aku rasakan.

Sepeninggal Karin, Ricky mencoba melanjutkan pernyataannya yang sempat tertunda karena kehadiran Karin. Ricky mencoba menggapai kedua tanganku. Tapi, segera kutari tangannku.

Ricky terkejut. “Kenapa, Dina? Sekarang kan aku udah gak sama Karin lagi.”

“Aku gak bisa, Rick. Aku gak mungkin bisa bersama dengan kamu apalagi setelah makian Karin barusan.”

“Tapi, Din…. Siapa yang peduli. aku janji, gak akan ada yang berani menyalahkan kamu. Dina, please, jadi pacarku lagi, ya?”

“Aku gak bisa, Rick. Karin cewek, aku juga cewek, aku bisa merasakan apa yang sekarang dirasakannya. Aku gak mungkin bisa berdiri di atas keterpurukannya sekarang, Ricky.”

“Kalo gitu, aku akan tetap nunggu kamu sampai Karin udah baikan agar kamu gak merasa bersalah, Dina.” Ucap Ricky dengan berbinar.

“Terserah kamu. Tapi, aku tetap merasa, gak bisa!”

Aku beranjak menjauh meninggalkan Ricky setelah sedetik sebelumnya kulihat raut wajah Ricky persis seperti raut wajahku dulu saat dia mutusin aku.

Ok, Ricky, gimana rasanaya? Sakit?

Aku melangkah sambil tersenyum puas. Fuih, aku berhasil!