Sabtu, 12 Mei 2012

TUNANGAN

Dia tersenyum. Senyum yang begitu tulus dan mempesona. Andai saja orang itu bisa melihatnya. Aku yakin dia akan langsung terpikat karenanya. Tapi, orang itu tidak pernah memperdulikannya. Bahkan mungkin tak menganggapnya ada. Emangnya apa sih kekurangannya? Dia pintar, baik, cantik pula. Agak kuper juga sih. Tapi, itu kan bukan suatu kesalahan yang fatal.

“hayo!” aku menghampirinya.”senyam-senyum sendirian. Ada apaan sih?”

Sejenak dia menatapku, lalu tersipu malu.

“Hmm…aq tau. Pasti lagi ngeliatin Anshar, kan?”

“Kamu suka asal ngomong deh. Kita ke perus, yuk!” dia melangkah.

Aku tau gimana perasaan kamu, Ra.

Tapi, bener, kan ? udah deh, ngaku aja. Wajah kamu merah tuh.” Aku segera bergerak mengikutinya.

Sejenak aku melirik ke arah yang dari tadi jadi objek pandangannya, ke arah Anshar yang lagi main basket. Ah, Rayya. Tatapan matanya memancarkan sesuatu yang seolah sebuah langkah pencarian yang diharapkannya suatu ketenangan. Sebuah tatapan yang hanya hadir jika dia sedang memandang ke arah Anshar, kapten basket yang cool banget itu. Aku tau itu, meskipun dia berusaha untuk menyelimutinya.

“Ra, kamu gak perlu takut ntuk jatuh cinta. Karena cinta itu adalah salah stu anugerah terindah.”

“Kamu ngaco lagi, Lia. Laper, ya? Makan dulu gih!”

Oops…kirain aku ngomongnya dalam hati doang.

Aku ketawa garing plus tersipu malu. “Udah makan, koq”

Begitulah Rayya. Dia gak akan pernah mau mengakui apa yang dirasakannya terhadap Anshar. Karena dia sendiri sepertinya masih cukup ragu.

Kalo aku jadi cowok, udah aku hajar tuh cowok. Kerjaannya Cuma bisa tebar pesona ke cewek-cewk. Setelah itu bersikap masa bodoh sama cewek-cewek yang udah falling in love sama dia. Dan Rayya nih salah satu korbannya. Entah udah berapa banyak cewek yang bernasib sama seperti Rayya.

“Gue sumpahin lu, biar dikejar cewek-cewk agresif sepanjang hidup lu!”

“Lia!” Rayya menatap heran ke arahku. “Barusan kamu ngomong apaan?”

Oo… aku ngeluarin suara lagi, ya?

“Gak tuh kucing koq ada di sini, ya?” Aku menunjuk kucing hitam putih yang lagi nongkrong di depan kelas X-2.

“Itu kan kucing peliharaan penjaga sekolah kita. Tiap hari juga ada di sini.”

“Oh, iya.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang gak gatal.

Dan setibanya di perpustakaan, kami pun melangkah masuk.

Fuih….

*****
“Wah luar biasa banget. Tuh cewek emang bener-bener pintar.”

“T.O.P B.G.T deh.”

“Bener banget. Dia bisa menangin olimpiade kimia dan fisika se-Jakarta sekaligus.”
Aku mendengar kalimat-kalimat itu dari anak-anak klub basket yang lagi ngumpul di depan mading.

Foto-foto Rayya yang lagi megang tropi dan hadiah yang di dapatkannya dari memenangkan olimpiade kimia dan fisika se-Jakarta sedang memenuhi mading sekolah edisi minggu ini. Seisi sekolah sedang membicarakannya. Entah itu memuji atau menjelek-jelekkannya (bagi yang iri). Tapi, Rayyanya sendiri cuek aja tuh. Seberapa banyak pun prestasi yang diperolehnya, Rayya tidak pernah menjadi tinggi hati. Rayya tetaplah Rayya yang baik dan rajin.

“Pintar? yang paling penting itu kan penampilan. Cewek kampungan kayak gitu. Norak tau!”

Itu suara si centil Cantika, cewek yang narsis abis. Dengan semboyannya, Bonyok gue ngasih nama Cantika karena gue emang cantik dari kecil sampai kapanpun.

Siapa sih yang gak tau semboyan si cewek itu!? Cantik? Di lihat dari mana? Dilihat dari langit ke tujuh kali, ya…. Tampang udah kayak ondel-ondel gitu. Ditambah lagi dengan bibir yang dipakein lipstik merah, udah kayak mulut mujair tuh bibir.

Cantika ini naksir berat sama Anshar. Kalo diurutin, dia cewek No 1 paling agresif diantara fans-fans Anshar. Dan Cantika selalu ngekorin Anshar kemanapun cowok itu pergi. Kayak sekarang, tuh cewek lagi ikut nimbrung sama Anshar dan teman-temannya dari klub basket.

Heran, bisa-bisanya cowok-cowok itu tahan berlama-lama dekat sama cewek centil kayak gitu. Ih, amit-amit banget.

Aku dan Rayya melangkah. Seperti biasa, kami mau ke perpus. Rayya tersenyum manis kepadaku. Aku tau Rayya sakit hati melihat semua itu. Tapi, Rayya tetap berusaha tersenyum.

Aku menoleh. Sedetik aku melihat Anshar memandangi Rayya. Ada apa? Apa Anshar sudah menyadari kehadiran Rayya? Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi. Seorang Anshar gak mungkin merhatiin Rayya dengan perasaan istimewa. Mungkin dia juga mengiyakan kata-kata Cantika barusan.

Hah? Apa aku sedang bermimpi? Anshar ada di bealkang kami. Dari gelagatnya, sepertinya dia ngikutin kami deh.

Kucubit lenganku sendiri. ”Aduh.” Jadi aku gak mimpi.

“Lia, kamu kenapa?”

“Ra, Anshar ada di belakang kita.” Bisikku pada Rayya.

“Aku tau.”

“Lalu?”

“Lalu apa?”

“Kamu gak merasa aneh?”

Rayya mengerutkan keningnya.
“Anshar ngikutin kita, Ra!”

“Dia gak punya alasan untuk ngikutin kita. Mungkin dia Cuma mau ke toilet.”

“Hm…. Mungkin. Tapi gimana kalo dia emang ngikutin kita?

“Gak usah mikir yang macam-macam deh.”

Aku tau apa yang kamu rasain, Ra. Sekarang kamu pasti lagi salah tingkah, makanya kamu terus-terusan berusaha untuk mengelak. Dan sekarang aku benar-benar gak lagi berhalusinasi. Aku bisa melihar sorot yang berbeda dari tatapan Anshar.
“Anshar!” Suara si centil itu.

Dia pasti lagi ngejar Anshar.

“Anshar, kamu mau ke kelas kan? Bareng yuk!”

Aku melirik lagi ke belakang. Ada ada rona kekecewaan di wajah Anshar.

Rayya, sepertinya perasaan kamu mulai tersambut.

Rayya mempercepat langkahnya. Begitu juga aku.

Setibanya di perpus, Rayya mengambil biki tentang kesehatan. Karena rayya mau jadi dokter, jadi dia tekun sekali menekuri buku-buku ataupun hanya artikel- artikel tentang kesehatan. Dia kan sudah dapetin beasiswa di fakultas kedokteran di salah satu universitas terkemuka di kota kami ini. Sedangkan aku Cuma mengambil komik dari serial cantik. Setelah sepuluh menit kemudian, Rayya ngomong sesuatu yang gak bisa kumengerti. Aku bingung. Aku gak tau apa-apa tentang itu.

“Lia, aku minta ma’af,” Rayya menatap tulus ke arahku setelah dia bergulat dengan buku tebal plus besar itu.

“Emangnya kamu udah ngelakuin kesalahan apa sama sku?”

Rayya menggeleng putus asa. “Thank’s, ya. Aku seneng bisa temenan sama kamu. Kamu baik banget dan bisa ngertiin aku.”

“Yaialah, aku kan peri penjaga yang khusus diciptain buat kamu,” aku bergurau, mencoba mencairkan suasana.

Rayya tersenyum kecil. “Selain itu kamu juga bikin aku sadar, Lia.”

“Ra, semoga kita bisa sahabatan sampai kapan pun, ya!”

Rayya mengangguk dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Wajahnya bersinar, membagi cahanya seperti bulan purnama dengan senyumnya. Bertebar ketenangan dan kebahagiaan dari wajah sendu itu. Dan tak pernah kulihat sebelimnya. Rayya tampak begitu berbeda, kecantikannya memancarkan suatu aura yang begitu menyejukkan.

Teet…! Teet…! Teet…!

Bel tanda masuk tuch.

“Aku udah nemu keputusan yang tepat, Lia.” Rayya berseru ceria. “kamu pasti akan setuju dengan keputesanku ini.”

Hah? Nih anak kenapa, ya? Kali ini bener-bener bikin aku heran mulu.

“Yeah!” Rayya menarik tanganku dan membawa kami kelangkah keluar dari perpustakaan.

Melewati kelas Xii IPS 1, kulihat Anshar tersenyum kepada Rayya. Dan __ senyum itu__. Kulirik Rayya, dia juga tersenyum. Waw? Seorang Rayya ersenyum pada cowok? Anshar pula. Senyum adalah ibadah, tapi aneh juga melihat Rayya bisa tersenyum sama cowok.

*****
Sepulang sekolah.

“Ra, aku pulang duluan, ya!” Aku berdiri sambil memakai slingbagku.

“Kita pulang bareng yuk.”

Duk! Rayya ngajak pulang bareng? Sejenak aku terhenyak. Biasanya Rayya gak pernah mau setiap kali kuajak pulang bareng. Dia selalu menyuruhku pulang duluan. Tapi, sekarang…

“Ayo!” Rayya merangkulku dengan ceria.

Di depan kelas, langkah kami terhenti. Aku terperanjat. Rayya terlebih lagi dan dengan cepat, denetralisirnya persaan itu.

Saat ini di hadapan kami berdiri seorang Anshar. Bayangkan! Anshar menghampiri kami? Ada apa ini?

“Hai!” Sapa Anshar. Dan matanya hampir saja tak berkedip menatap Rayya.

Rayya tampak gugup. Dan dia tersenym padaku.

“Ra, besok mala aku, mama dan Tita mau ke rumah kamu.”

“Ke rumah? Besok malam? Tapi….”

Aku koq jadi merasa seperti orang asing diantara mereka.

“Ra, bukannya kamu kamu udah janji. Satu tahun yang lalu kamu bilang, aku dan keluargaku boleh datang ke rumah kamu sebelum prom night angkatanku. Dan lusa udah prom night. Kamu masih ingat kan?” Anshar menjelaskan panjang lebar.

Satu tahun yang lalu, bukannya Rayya masih di SMA…. Kapan mereka ketemunya? Sekarang kan kami baru kelas satu dan Anshar sudah kelas tiga.

“Ya, aku masih ingat.”

“Rayya, aku pengen besok malam kamu nerima perasaanku dan kita punya ikatan.”

Rayya tersenyum. “Jadi kamu Cuma pengen tau jawabannya besok malam?”

“Emangnya udah boleh tau sekarang?” Tanya Anshar semangat.

“Sekarang aku udah bisa meyakinkan perasanku sendiri.” Rayya menatap Anshar dengan begitu lembut.

Dan aku semakin merasa seperti orang asing ditengah pembicaraan dua makhluk ini.

“Dan…?”

Rayya tersipu malu.

“Rayya, apa itu artinya ‘iya’?”

Rayya mengangguk.

“Rayya aku seneng banget. Anshar hampir saja terlonjak karena senangnya. Makasih ya, Ra. Oh ya, nanti sore aku mau beli cincin. Kamu ikut, ya?”

“Hmm… Boleh. Tapi aku bilang sama mama dulu, ya!”

Ok. Segera hubungin aku, ya! Biar aku langsung jemput kamu.

“Iya,” Rayya mengangguk sambil tersenyum. “Titip salam buat tante, ya!”

“Pasti. Mau aku antar pulang gak?”

“Aku sama Lia aja.”

“Ok. See you!” Anshar mengerlingkan matanya pada Rayya. Kemudian berlalu sambil bersiul riang.

Sedangkan aku dari tadi Cuma bisa bengong memperhatikan kedua insan ini. aku memang sudah mengerti. Tapi ini sangat jauh di luar dugaanku.
“Lia?” Rayya mengguncang tubuhku. “Lia!”

“Ra?___ kamu?___ Anshar?___ kalian?___”

Rayya tersipu malu. Dan wajahnya bersemu merah.

“Sejak kelas satu, sejak Anshar nyatain perasaannya ke aku, aku jadi sering kepikiran tentang itu. Bahkan kadang aku jadi gelisah. Dan tadi, waktu di perpus, aku udah tau jawaban apa yang seharusnya kuberikan pada Anshar. Karena aku udah tau kalo Anshar tulus dan serius sama aku. Buktinya, selama ini Anshar gak pernah pacaran, ataupun hanya tergoda dengan cewek lain. Dan aku akan menerimanya sebagai tunanganku.’

Jadilah aku semakin heran. Unik juga hubungan yang mereka jalani ini.

Rayya ingin mengetahui seberapa besar ketulusan Anshar dengan mebiarkan Anshar menunggunya. Anshar mungkin saja melupakan Rayya yang telah menggantungnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Anshar dan keduanaya rela menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar